Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nawaning JPPPM Melestarikan Tradisi Ilmu dan Lingkungan

Oleh: Ning Nabilah Munsyarihah
Nawaning bid. Pendidikan

Sabtu (25/11) Nawaning JPPPM Nusantara menggelar acara Sanadan Kitab dan Sarasehan Pesantren di PP. Roudlotut Thullab, Tempuran, Magelang. Acara ini digerakkan oleh JPPPM Magelang guna menyambut para bu nyai dan nawaning dari berbagai kota di Indonesia bahkan hadir pula peserta dari Kanada.

Magelang dipilih karena program unggulan Nawaning JPPPM Nusantara ini ingin menyambung sanad keilmuan pada KH. Asrori Ahmad. Kiai Asrori merupakan salah satu kiai Jawa, di samping Kiai Bisri Musthofa, yang menulis dan menerjemahkan banyak kitab dalam makna pegon. 

Dalam kesempatan ini, para nawaning menerima sanad tiga kitab yaitu Nur ad-Duja (terjemah kitab Safinah an-Najah), Risalah al-Mar’ah as-Sholihah, dan al-Adzkar an-Nafiah. Dua putra Kiai Asrori yaitu Bu Nyai Sintho’ Nabilah dan KH. Akhmad Said Asrori didapuk sebagai pemberi sanad.

“Abah Asrori mulai menerjemah tahun 1961. Yang mendukung dan menashih beliau adalah Kiai Ma’shoem Lasem dan Kiai Baidlowi,” kisah Bu Nyai Sintho’ pengasuh PP. Al-Hidayat Salaman, Magelang, itu. Selanjutnya Bu Nyai Sintho’ memberikan sanad kitab Nur ad-Duja yang artinya Cahaya yang menerangi kegelapan.

“Setiap kali ke Jogja, Mbah Ma’shoem menginap di sini, di dusun Wonosari. Lalu Abah saya diutus oleh gurunya untuk membangun pondok,” kenang Kiai Said Asrori saat memberikan muqaddimah sanadan. Menurut Kiai Said, ia pernah bertemu dengan peneliti Belanda martin Van Bruinessen yang di kampusnya sana mengoleksi hampir seluruh kitab Jawa pegon terutama karya Kiai Bisri Musthofa, Kiai Misbah Musthofa, dan Kiai Asrori Ahmad.

“Mengapa menggunakan tulisan Jawa? Pondok pesantren di Jawa itu pondok yang luar biasa. Memaknai kitab gramatika Bahasa Arab atau nahwu itu bisa lebih tepat secara makna dengan menggunakan Bahasa Jawa (daripada Bahasa Indonesia),” jelas Kiai Said Asrori.

“Kalau menggunakan Bahasa Indonesia orang tidak tahu kalimat ini kedudukannya sebagai mubtada’ atau khobar,” lanjut beliau dalam menjelaskan kelebihan pegon Jawa dalam menjelaskan kitab berbahasa Arab. Ia menambahkan bahwa Kiai Asrori sudah menulis lebih dari 70 kitab.

“Dengan menerjemah kitab ini, masyarakat lebih terbantu memahami ilmu agama,” tegasnya lagi. Menurutnya, penulis kitab dari kalangan perempuan masih sedikit sekali.

Setelah prosesi sanadan, rangkaian acara dilanjutkan sarasehan pesantren yang membahas tentang pengelolaan sampah dan lingkungan pesantren. Sarasehan ini dibawakan oleh Ning Dr. Umnia Labibah dari Banyumas dan Ning Fetra Nurhikmah dari Yogyakarta. Dalam forum ini, para peserta bertukar pikiran tentang pentingnya mengelola sampah pesantren terutama pondok putri yang memproduksi banyak sekali sampah dari sisa kebutuhan perempuan seperti pembalut. Diskusi berlangsung seru untuk mencari solusi dari masalah sampah ini.

Acara ini juga menampilkan kebolehan santri pondok putri di sekitar Magelang yaitu paduan suara dari PP. Mambaul Hisan, Meteseh, peragaan silat Pagar Nusa dari PP. Al-Hidayat, Salaman, dan Tari Saman dari PP. Darul Muttaqin 3, Secang. 

“Kami ingin meneruskan tradisi dan perjuangan leluhur kami yang selalu dekat dengan masyarakat,” kata Ning Ulya Izzati, ketua panitia, dalam sambutannya. Acara ini bertujuan untuk merawat semangat para perempuan pesantren dalam menjaga tradisi ilmu pesantren dan melestarikan lingkungan.