Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Hijrah

 

Makna Hijrah

Tahun baru hijriyah kembali datang menjelang  dengan datangnya bulan pertama tahun hijriyah, yaitu Bulan Muharram, yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai wulan Suro (karena didalam bulan Muharram ada hari 'asyuro).  Tahun hijriyah dihitung pertama kali dari peristiwa hijrahnya Rosulullah SAW dari negeri Makkah ke negeri Madinah. Sedangkan pemberlakuan tahun hijriyah sebagai penanggalan resmi untuk korespondensi kenegaraan pertama kali dicanangkan oleh pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, sekitar tahun .....

Peristiwa hijrahnya Rosulullah SAW ini kemudian oleh umat Islam dijadikan  tafa'ulan untuk menunjukkan babak baru kehidupan yang lebih baik. Kata hijrah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti pindah tempat. Muhammad bin ‘Allan As-Shiddiqi menjelaskan bahwa dalam syariat Islam, hijrah dimaknai sebagai memisahkan diri atau berpindah dari negeri kufur ke negeri Islam karena mengkhawatirkan keselamatan agama, (Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin, juz I, hlm 42). Hijrah juga bermakna "at-tarku" yaitu meninggalkan sesuatu. Dari rangkaian makna ini, hijrah mengandung sebuah re-framing (pembingkaian kembali) atas sebuah kondisi yang lama menuju kondisi yang terbarukan, lebih baik, lebih sholih.

Makna hijrah secara subtansial tidaklah terpaku pada perpindahan/migrasi secara fisik saja, dari yang tidak berhijab menjadi berhijab, dari yang tidak berjenggot menjadi berjenggot, dari yang tidak membaca Al-Quran menjadi membaca Al Quran setiap hari. Tetapi makna hijrah lebih mendasar yaitu hijrah dari suatu kebodohan/jahili. Kebodohan yang bermakna haqiqy, yaitu pengabaian terhadap syariat sebagai bimbingan ilahi. Dalam makna ini hijrah adalah berpindah dari prilaku lama dengan segala bentuk kesalahan menuju kepada suatu perilaku yang cerdas, shohih lagi sholih karena menjaga keselamatan agama dan beragama.

Oleh karenanya menurut Zainuddin  Abdurrauf Al-Munawi (952-1031 H/1545-1622 M), pakar hadits asal Mesir dalam kitabnya Taisir bi Syarhil Jami’is Shaghir menekankan bahwa hijrah pada hakikatnya adalah tarku al-manhiyyat, meninggalkan berbagai larangan agama. Karenanya, hijrah sejati tidak terbatas pada perpindahan yang bersifat fisik-lahiriah, akan tetapi mencakup perubahan yang bersifat ruhaniyah, yaitu cara berfikir, merasa dan menggunakan badan yang selalu didasarkan pada hidayah/arahan Allah SWT. Memahami makna al-Quran  tidak sekedar menjadi bahan bacaan (meski membaca sudah terhitung muta'abbad bihi), akan tetapi benar-benar menjadi way of live, guidening kehidupan, segala perintahnya musti diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Berhijab dimaknai tidak sekedar menutup fisik, tetapi menjaga tampilan fisik dari mendatangkan ma'siyat/dosa baik bagi diri sendiri (kesombongan)  maupun orang lain (penglihatan bahaimy-seksual), melakukan hadist nabi tidak sebatas verbal tetapi memahami pesan utamanya yaitu makarimal akhlaq, melahirkan sikap santun, toleran, rendah hati, adil, dermawan, memaafkan dan sifat-sifat lain yang dicontohkan Rosulullah SAW.

Makna hijrah diatas senada dengan tuntunan Rosulullah SAW, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim : Wal muhaajiru man hajara maa nahallahu 'anhu", artinya, “Hakikat hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,” (‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, juz I, hlm. 217). Maka menjadi penting menjalankan sunnah Rosulullah ini, dengan memulai berhijrah (meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah) dimulai dari diri kita sendiri secara terus menerus, tanpa disertai sikap menyalah-nyalahkan orang lain dan menganggapnya (yang belum bisa berhirah) sebagai orang dengan kualitas bermuslim yang rendah.  Hijrah model beginilah yang sangat dibutuhkan, pelan-pelan tetapi pasti dapat menciptakan habid personal dan sosial secara lebih baik dengan kehidupan yang lebih bermartabat, menjadi bekal hijrah siapa saja baik kaum muda maupun kaum tua, laki-laki maupun perempuan, hijrah untuk terus-menerus memperbaiki diri lahir batin secara sempurna.

Mari hijrahkan hati menuju kebeningannya, sehingga mampu memprovokasi seluruh badan melakukan perintah-perintah Allah SWT dengan ringan dan menyenangkan. Mari hijrahkan akal pikiran menuju kearifannya, sehingga semakin bertambah ilmu dan pengalaman semakin bijaksana dan mensejahterakan semua dan marilah menghijrahkan hidup kita menuju kebermanfaatannya sehingga berprestasi mencapai kehidupan yang bahagia, sa'adah minaddunyaa hattal akhirah. Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1444 Hijriah.

(Nyai Dr.Hj. Arikhah, M.Ag, Pengurus MUI Jateng, Dosen FUHUM UIN Walisongo, Pegiat Ponpes darul Falah Besongo, Pengurus Pusat JPPPM, serta Jaringan KUPI).