Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELURUSKAN NIAT BERHAJI

 


MELURUSKAN NIAT BERHAJI

Dua pekan terakhir ini kita semua menyaksikan intensitas tinggi pemberitaan dimedia massa terkait pemberangkatan jama'ah haji. Hal ini patut kita syukuri mengingat, setelah penantian panjang karena waiting-list jama'ah haji Indonesia yang sudah mencapai puluhan tahun, ditambah dengan masa pandemi dimana Pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan jama'ah haji. Masyarakat umum sangat variatif dalam merespon berita gembira ini. Yang Perlu diwaspadai adalah respon berlebihan yang justru bisa menjadikan rusaknya tujuan berhaji. alih-alih mendekatkan diri kepada Allah yang membuahkan kesolehan individu maupun sosial, malah mendatangkan kesombongan dan kepongahan diri maupun sosial.

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang sangat sulit bagi pelakunya untuk "ikhlas" lillahi ta'ala. Mengingat pelaku ibadah haji sangat sulit  menyembunyikan dari khalayak ramai.  Belum lagi persyaratannya yang banyak sekali harus dipenuhi. Jauh-jauh hari nama-nama peserta sudah dimumkan untuk diketahui sehingga yang bersangkutan sudah harus mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari kesehatan baik fisik maupun mental,  juga akademik dan finasialnya.  Berminggu-minggu mengikuti manasik sebagai bagian dari pendalaman akademik, bertahun-tahun menabung untuk sangu, dan lain-lain. Sudah beres semua menjelang keberangkatan, masih deg-degan dengan hasil PCR, apakah memenuhi persyaratan berangkat atau tidak.

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima, yang harus dilakukan oleh umat Islam yang mampu (istitha'ah). Perintah menunaikan ibadah haji, termaktub dalam Al-Qur’an surat Ali Imran, Ayat 97. "Kemampuan" menjadi persyaratan yang menunjukkan kasih sayang Allah swt, bahwa Allah tidak membebani membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya (QS Al-Baqarah: 286), juga Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan (QS Al Maidah : 6). Oleh karena berhaji musti betul-betul diniatkan karena Allah, yang dielaborasikan dalam keikhlasan menjalankan syarat-rukun-wajib dan sunnah haji. Demikian ini menepis maksud-maksud berhaji yang sekedar melakukan ritual wisata yang hampa makna, karena berhaji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati Allah SWT.

Jika para jama'ah haji mampu melaksanakan ibadah haji dengan memahami secara komprehenship berikut filosofi kaifiyatnya secara baik mulai dari miqat, ka’bah, tawaf, sa’i, Arafah, Mina, hingga makna ritual kurban pastilah jama'ah ini akan kembali ke tanah air dengan membawa predikat mabrur, sebuah predikat yang didamba-damba dan menjadi tujuan yang ingin dicapai semua orang. Kemabruran haji seseorang tentu akan membawa kerahmatan dan keberkahan bagi kita semua, bangsa dan negara. 

Kemabruran haji seseorang dapat dilihat dari tanda-tandanya seseorang sebagai jama'ah haji setelah kembali ketanah air dan menjalani kehidupan normalnya. Rosulullah dalam hal ini memberi tahukan tentang 3 tanda seseorang mencapai haji mabrur, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yaitu santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam),  menebarkan kedamaian (ifsya’us salam) dan memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am).

Saling mengingatkan untuk selalu memperbaiki niat berhaji menjadi sangat penting dilakukan agar jamaah haji baik yang akan, sedang maupun sudah melaksanakan mampu meraih prestasi haji mabrur. Menjalankan ibadah haji sebenarnya tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan orang tersebut secara individu, melainkan juga berdampak besar kepada secara sosial di lingkungan orang yang berangkat haji tersebut. Mari kita doakan semoga kita semua diberikan kemampuan untuk meraih haji yang mabrur. Wallahu a'lam []

(Ny. Hj. Arikhah, Pengurus MUI Prov Jawa Tengah, Dosen FUHUM UIN Walisongo, Pegiat Ponpes Darul Falah Besongo, Pengurus JP3M Pusat, Jaringan KUPI).