Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM UNDANG-UNDANG PKDRT NO. 23 TAHUN 2004

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN  DALAM UNDANG-UNDANG PKDRT NO. 23 TAHUN 2004

Oleh : Dr. Munifah, S.Ag., M.HI.

Terhitung sejak 14 September 2004 RUU ini disahkan menjadi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan diundangkannya UU PKDRT ini maka semua elemen bangsa, masyarakat, aparat penegak hukum, LSM, dan komponen lainnya berkewajiban untuk melaksanakan isi Undang-Undang ini. Lahirnya UU PKDRT merupakan salah satu tonggak sejarah bagi upaya perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Disamping itu Undang-Undang ini juga mengatur tentang langkah-langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru serta adanya kejelasan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan. Sebelum diundangkannya UU PKDRT kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau banyak kasus kekerasan yang tidak dipertimbangkan. Sebagai salah satu negara anggota PBB negara peserta ratifikasi Konvensi PBB maka Indonesia terikat pada sejumlah kesepakatan dan perjanjian internasional atau Konvensi mengenai diskriminasi, dan salah satunya adalah Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi PBB tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Rekomendasi umum majelis umum PBB Nomor 19 Tahun 1992 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dengan diundangkannya undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga maka payung penegakan hukum bagi korban KDRT menjadi jelas dan dalam implementasinya adalah tanggung jawab kolektif semua elemen bangsa.

Kedudukan undang-undang PKDRT Nomor 23 tahun 2004 adalah berfungsi sebagai instrumen untuk mengeliminir lahirnya korban-korban baru dengan model kekerasan dan pelaku yang sangat beragam. Oleh karena itu perlu pengawasan dari masyarakat terhadap pemberlakuan undang-undang ini sehingga spirit dari lahirnya UU ini menjadi betul-betul terealisir yaitu menegakkan hak asasi manusia melalui penciptaan pola relasi sosial yang adil gender. Asas Upaya Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dianut dalam undang-undang PKDRT adalah sebagai berikut : 1) Asas Penghormatan HAM ; 2) Asas Keadilan dan Kesetaraan Gender ; 3) Asas Non Diskriminasi ; 4) Asas Perlindungan Terhadap Korban.

Unsur KDRT Sebagai Tindak Pidana dimana KUHP mendefinisikan kejahatan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya mengasumsikan perempuan sebagai manusia lemah dan diparalelkan dengan posisi anak laki-laki, sebagaimana diatur pada pasal 297. Asumsi lainnya, suami merupakan pelindung perempuan. Sementara istri berkewajiban untuk selalu patuh pada kehendak seksual suami. Ini terlihat dalam definisi mengenai perkosaan. Pasal 285 menyatakan : “barangsiapa dengan kekerasan memaksa persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, ia akan dituntut dengan perkosaan”. Definisi ini tentunya tidak mengklasifikasikan perbuatan perkosaan dalam ikatan perkawinan (suami terhadap istri) atau marital rape sebagai kejahatan. Dengan mengacu pada KUHP di atas, maka kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan bukan sebagai kejahatan terhadap perempuan sebagai pemilik tubuhnya. Pengertian kesusilaan dalam KUHP lebih mengacu pada moralitas kemasyarakatan dan bukan bertujuan memberikan perlindungan terhadap perempuan.

Implementasi UU PKDRT, terhadap semua elemen bangsa berkewajiban untuk secara kolektif berpartisipasi mengawal penegakan ketentuan dalam UU PKDRT. Pada Bab V pasal 11-15 diatur tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam rangka pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Adapaun kewajiban masyarakat dalam upaya penghapusan terhadap kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam pasal 15 disebutkan bahwa : “setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : 1) Mencegah berlangsungnya tindak pidana, 2) Memberikan perlindungan pada korban, 3) Memberikan pertolongan darurat, dan 4) Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai sebuah kebijakan hukum menjadikan sarana pemidanaan merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan mengeliminir berbagai bentuk kejahatan berupa kekerasan yang kemungkinan terjadi dalam lingkup rumah tangga. 1 ) kekerasan fisik , 2) kekerasan psikis, 3) kekerasan seksual, 4) menelantarkan orang dengan ancaman pidana penjara paling ringan 4 bulan sampai 20 tahun atau denda 3 juta sampai 500 juta rupiah.

Semua jenis tindak kekerasan dalam UU ini termasuk delik aduan. Adapun alat bukti yang sah adalah keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Ketentuan tentang saksi korban sebagai alat bukti dan hanya ditambah satu bukti lain sudah dianggap sah, hal ini adalah dalam rangka mempermudah proses penanganan kasus KDRT. Ketentuan pidana yang ada dalam UU PKDRT pada umumnya berupa sanksi penjara dan juga sanksi berupa denda yang dijatuhkan secara bersama sebagai sanksi pokok. Beratnya ancaman pidana bagi pelaku KDRT mengisyaratkan keinginan dari pemegang kebijakan hukum yang serius memberantas praktek-praktek kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian ancaman pidana dalam UU PKDRT masih belum berorientasi pada kepentingan-kepentingan korban. Dengan kata lain sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkrit. Dengan demikian, belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh negara terhadap korban tindak pidana kekerasan. Ganti rugi oleh negara hanya terbatas pada pelaku kekerasan dijadikan sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana.