Mbah Maryam Sang Kartini Sarang dari Tuban
Mbah Maryam Sang Kartini Sarang dari Tuban
Kisah Pejuang Wanita di Tanah Sarang
Oleh : Ulfah
Fauziyah Rosyid
Pada tahun 1950-an,
dunia pesantren di Kecamatan Sarang akrab dengan seorang tokoh wanita bernama
Siti Maryam. Tokoh ini begitu luwes dekat dengan masyarakat. Beliau banyak dicintai dari kalangan santri bahkan masyarakat
pedesaan, karena gaya khas dan penyampaian beliau yang
begitu sederhana hingga masyarakat mudah
menerima dan merasakan ketulusan dan kasih sayang beliau.
Beliau merupakan sosok ulama
perempuan yang menjadi inspirator sekaligus teladan bagi santri dan masyarakat
Sarang. Tentu saja hal itu membutuhkan perjalanan panjang. Beliau
membutuhkan proses yang tidak instan.
Kehidupan
Mbah Maryam sebelum berkhidmah di Sarang
Masa kecil Nyai Yam atau Mbah Yam
tidak terlalu banyak diketahui. Beliau Siti Maryam, Lahir di daerah perkotaan
kota Tuban, Jawa Timur. Beliau merupakan anak dari pasangan Nyai Salamah dan
KH. Khozin Jenu, Tuban. Beliau merupakan putri ketiga dari delapan bersaudara
yang tumbuh dalam keluarga sederhana. Kehidupan yang dilalui pada masa kecil
penuh dengan kesederhanaan dan kedisiplinan, hal tersebut membuat beliau tetap
berkepribadian sederhana serta disiplin hingga sampai akhir hayatnya. Sosoknya
terlihat begitu tawadlu’ dalam menjalani kehidupan. hafalan Al Qur’an dimulai
sejak beliau masih kecil dengan dibimbing langsung oleh Abahnya sendiri,
K.H. Khozin (murid K.H. Munawwir Krapyak),
hingga khatam 30 juz.
Dipinang
Ulama’ Sarang
Ketika Nyai Yam menginjak usia remaja, Kyai Ali Masyfu’ seorang
ulama’ Sarang sewaktu menjalankan ibadah haji mendapatkan isyarah dengan
diperlihatkan 3 orang gadis dengan ciri-ciri yang berbeda-beda, salah satu
diantara ketiganya kelak yang akan mendampinginya berjuang nasyrul ‘ilmi di
tanah Sarang.
Sepulang dari menunaikan ibadah haji, K.H. Ali Masyfu’ bin K.H.
Fathurrohman bin K.H. Ghozali bin K.H. Lanah disambut hangat oleh keluarga.
Beberapa saudara menawarkan salah satu diantara putri-putrinya untuk dinikahkan
dengan K.H. Ali Masyfu’. Isyarah sebelum kepulangan Kyai Ali ke
Indonesia perihal sosok yang kelak akan menemani beliau nasyrul ‘ilmi di
Sarang masih terekam jelas dalam ingatan beliau. Sehingga Kyai Ali teguh
pendirian untuk tidak menerima tawaran-tawaran dari keluarganya.
Namun, keluarga Kyai Ali masih terus mendesak beliau untuk menikah
dengan salah satu putri saudaranya. Akhirnya Kyai Ali menikah dengan Ibu Nyai
Kanah yang akrab dengan sapaan Yu Kanah. Beliau wanita asli kelahiran Sarang.
Usia pernikahan Kyai Ali dengan Yu Kanah tidak berlangsung lama. Bahtera rumah
tangga pada akhirnya berujung pada furqoh.
Pasca masa furqoh dengan Yu Kanah, keluarga serta para alim
ulama’ sekitar Sarang sibuk mencarikan Kyai Ali pendamping. Satu persatu dari beberapa
foto para wanita diperlihatkan kepada Kyai Ali barangkali ada yang cocok.
Hingga tiba saat K.H. Dahlan dan K.H. Mabrur ulama’ asal Surabaya menunjukkan foto
seorang wanita berusia remaja kelahiran Tuban yang pernah Kyai Ali lihat
sebelumnya dalam mimpi. Lantas Kyai Ali mengiyakan tawaran tersebut sebab sosok
wanita itulah yang di-isyarah-kan sebagai pendamping beliau.
Segera Kyai Ali meminang putri pertama Kyai Khozin, Siti Maryam.
Remaja berusia 16 tahun yang pada saat itu belum mengkhatamkan hafalan Al
Qur’an. Pada saat itu Nyai Maryam masih pada tahapan memperjuangkan setoran hafalan
Al Qur’an kepada Kyai Khozin, Abahnya.
Seusai menikah, Nyai Maryam masih tetap terus mentadarrus dan
menyetorkan hafalan yang belum diselesaikan kepada Abahnya, hingga hafalan 30
juz selesai beliau setorkan.
Tak lama kemudian, Nyai Maryam diboyong oleh suaminya ke daerah
pesisir Pantura yang kental dengan jiwa agamis sejak puluhan tahun silam,
tepatnya di daerah Karangmangu, Sarang, Rembang.
Sosok
Kartini di Sarang yang datang dari Tuban
Kehadiran Nyai Maryam ke Sarang
disambut baik oleh masyarakat. Meskipun tentunya kehidupan di lingkungan baru
tidak berjalan mulus, pasti ada halang rintang
serta pro kontra dengan penduduk setempat.
Awal mula beliau hadir di Sarang,
beliau dapati larangan baku yang tidak tertulis namun ditaati oleh penduduknya,
yaitu larangan belajar tulis menulis abjad. Hampir seluruh penduduk Sarang pada
saat itu tidak ada yang bisa menulis ataupun membaca huruf abjad. Larangan itu
muncul dengan alasan untuk dar’ul mafasid (mencegah kerusakan). Menurut
para penduduk Sarang, apabila seseorang mampu menulis ataupun membaca huruf abjad,
maka itu akan menjadi celah bagi para remaja melakukan maksiat berupa surat-menyurat dengan lawan jenis. Sebegitu hati-hatinya
ulama’ Sarang, sehingga sedikit celah untuk ber-maksiat pun
dipangkas.
Di situ
Nyai Maryam tampil untuk memberi bukti kepada masyarakat Sarang bahwa anggapan
yang dianggap benar belum tentu sepenuhnya
benar. Terampil
membaca dan menulis abjad tidak selamanya menjadi jalur untuk aksi maksiat saja. Konsep dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih (mencegah
kerusakan lebih diprioritaskan dibandingkan dari menarik kebaikan) menjadi
sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat
Sarang. Kehadiran Nyai Maryam di Sarang membawa konsep baru fi kulli syaiin
hikmatun (dalam setiap perkara pasti ada hikmahnya). Mbah Yam mampu mengelola
belajar tulis menulis abjad tersebut menjadi suatu hal yang bermanfaat.
Dimulai dari sedikit demi sedikit, Nyai Yam mulai mengenalkan tulis
menulis abjad di Dusun Karangmangu, Sarang. Penduduk setempat sangat antusias
mengikuti pembelajaran yang diadakan oleh beliau. Akhirnya
beliau berhasil mendidik kaum perempuan penduduk Karangmangu, Sarang menjadi
mahir membaca dan menulis abjad tanpa melanggar aturan baku yang sudah
ditetapkan oleh para pendahulunya.
Bermula dari itu, beliau dijuluki
Kartini di Sarang yang datang dari Tuban. Seolah-olah kehadiran beliau di Sarang
sebagai sosok Kartini yang berperan dalam meningkatkan kualitas ilmu
pengetahuan khususnya kaum perempuan sekaligus mampu mengubah pola pikir yang jumud
menjadi pola pikir maju tanpa melanggar batas-batas yang dikhawatirkan oleh
para pendahulu.
Pelopor
pendiri Pesantren Putri pertama kali di Karangmangu Sarang
Desa Karangmangu Kecamatan Sarang adalah tempat yang memiliki banyak sekali tokoh ulama’ besar. Diantaranya K.H.
Lanah sebagai pendahulu, K.H. Ahmad Syuaib, K.H. Fathurrahman, K.H. Dahlan,
K.H. Ali Masyfu’, K.H. Zubair, K.H. Maimoen Zubair dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dari kalangan ulama perempuan juga tak ketinggalan hebatnya serta
sangat layak menjadi inspirator.
Sejak tahun 1780-an, di desa
Karangmangu kecamatan Sarang sudah banyak berdiri pesantren-pesantren. Pada
masa itu, bumi Sarang sudah diwarnai dengan kajian-kajian kitab salaf di
madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren. Kajian
tersebut hanya diikuti oleh kaum laki-laki. Bisa dikatakan, bahwa pendidikan
bagi kaum perempuan masih sangat minim. Bahkan, pesantren yang sudah berdiri
tak ada satupun yang khusus dan intensif mendidik santri dari kalangan kaum perempuan.
Nyai Maryam prihatin dengan kondisi
dan keadaan tersebut. Lantas terpikirkan dalam benak beliau untuk membangun
pesantren putri. Beliau memiliki alasan bahwa bagaimanapun juga pendidikan
untuk para wanita sangatlah dibutuhkan. Wanita yang kelak akan menjadi madrasah
pertama bagi anak-anaknya harus memiliki intelektual yang unggul, sehingga
kelak dapat melahirkan generasi-generasi yang unggul, berkompeten serta
berakhlak mulia. Berawal dari itu, Pesantren Al-Amin yang mulanya hanya
menyelenggarakan pendidikan keilmuwan khusus untuk kaum laki-laki sebagaimana
pesantren pada umumnya di Sarang, kemudian mendirikan pula Pesantren Al-Amin
Putri untuk fokus mendidik kaum perempuan. Kajian yang diselenggarakan di
Pesantren Al-Amin Putri tidak hanya kajian kitab salaf, akan tetapi
diselenggarakan pula kajian Al-Qur’an binnadzri dan bilghoib yang
diampu langsung oleh beliau dengan sangat tegas dan teliti.
Nyai Maryam mengemban amanah
mengasuh pondok putri dengan sungguh-sungguh, ulet, dan telaten. Beliau berperan
aktif dalam mengurus santri-santrinya. Kasih sayang beliau curahkan kepada
semua santri dengan penuh ketulusan. Bukti kasih sayang beliau tak sedikit. Suatu hari,
pernah ada seorang santri yang sakit, beliau bergegas menjenguk ke kamar santri
tersebut sekaligus memberikan makanan
dan minuman yang diambilkan sendiri oleh beliau dari ndalem. Tak jarang
pula beliau memberikan obat dan memberikan air
doa buat santri yang sakit sebagai wujud ikhtiar dan kepedulian beliau terhadap
santri yang beliau asuh.
Tidak hanya sampai disitu, kepedulian dan perhatian beliau kepada
para santri juga dibuktikan dengan beliau mengetahui setiap latar belakang
para santri mulai dari nama, karakter kepribadian, orangtuanya, bahkan beliau
mengetahui pula alamat rumah santrinya.
Adapun mengenai kepengurusan pondok, beliau membimbing langsung
cara kinerja pengurus dalam berkhidmah. Setiap kali ada pertemuan rapat
pengurus Pondok Pesantren Al Amin Putri beliau selalu hadir guna ikut andil
memberikan solusi dalam setiap permasalahan yang dihadapi oleh pengurus.
Nasihat beliau yang dipegang teguh dalam kepengurusan PP. Al-Amin Putri ialah
bahwa pengurus adalah garda terdepan untuk menjadi contoh para juniornya, maka
alangkah baiknya sosok pengurus harus selalu amanah dalam menjalankan tugas khidmah.
Adapun sikap beliau dalam menangani suatu
kasus pelanggaran sangatlah tegas, siapapun yang melanggar peraturan Pesantren
harus mempertanggungjawabkan dengan baik.
Ada sebuah prinsip unik yang dipegang teguh oleh beliau mengenai
aturan keluar pondok, yakni setiap santri yang izin keluar pondok minimal harus
3 orang. Dengan alasan, apabila hanya satu orang maka dia adalah setan, apabila
hanya dua orang maka mereka merupakan gabungan dari setan dan manusia, dan
apabila tiga orang maka mereka adalah gabungan dari setan, manusia dan
malaikat, jadi analoginya apabila keluar pondok 3 orang maka peluang untuk melanggar aturan
pondok ataupun aturan syara’
sangat minim. Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menjaga amanah
wali santri dan masyarakat.
Seorang guru tentu tak akan pernah menginginkan
santrinya mengalami kegagalan dalam tholabul ‘ilmi. Demikian juga dengan
beliau, upaya bathiniyyah atau biasa dikenal dengan tirakat ataupun
riyadloh juga beliau lakukan dengan tulus ikhlas, berharap para santri
yang dididik beliau kelak bisa mengemban estafet meneruskan perjuangan beliau
untuk nasyrul ‘ilmi serta memajukan indonesia.
Di saat
beliau mendapati santri yang kelewat batas tingkat kenakalannya ataupun
memiliki kecerdasan dibawah rata-rata, Mbah Yam
merasa prihatin. Beliau selalu berikhtiar dengan mendoakan, mengkhususkan Sholawat
Nariyah, menjalankan sholat hajat, serta berpuasa dikhususkan buat
para santri tersebut. Demikian ikhtiar beliau dalam mencurahkan segenap waktu,
tenaga, dan
pikirannya
untuk menjalankan amanah.
Penggagas
berdirinya TPQ di Karangmangu, Sarang.
Nasyrul ‘ilmi
tidak hanya terbatas di lingkungan pesantren saja. Mbah Yam sebagai sosok yang
merakyat dan dianggap sangat dekat dengan masyarakat selalu menyempatkan diri
untuk bersilaturahim ke rumah-rumah penduduk guna berdakwah menyebarluaskan
ilmu.
Metode nasyrul ‘ilmi tidak hanya dengan memaknai
kitab ataupun mau’idhoh hasanah di podium. Melainkan juga dengan dakwah haliyyah (perilaku) yang justru
lebih melekat di benak
masyarakat. Sebagai sosok yang berjiwa kasih sayang, beliau selalu tanggap
dengan keadaan sosial masyarakat, sehingga kasih sayang beliau seringkali
beliau curahkan kepada masyarakat Karangmangu, Sarang pada beberapa kesempatan
silaturahim. Pada kesempatan silaturahim tersebut beliau jadikan sebagai momen untuk
menebar kasih sayang kepada masyarakat, meskipun sekedar sesederhana tersenyum
serta menyapa dengan ramah kepada siapa saja yang beliau jumpai. Bahkan
beliau sempatkan pula untuk bershodaqoh kepada anak-anak yatim, fakir miskin,
dan juga para janda.
Suatu ketika, beliau dapati
anak-anak penduduk sedang bermain, bersorak riang gembira menikmati keindahan
senja di tepi pantai kawasan Pantura pada saat
beliau sedang menyusuri jalan ke Dusun Karangmangu guna melaksanakan rutinitas
silaturahim. Seketika hati beliau terketuk, terlintas dalam benak beliau bahwa
anak-anak merupakan generasi penurus yang kelak akan melanjutkan estafet
perjuangan para ulama’. Sangat
disayangkan sekali bila seusia mereka waktunya terbuang sia-sia. Mereka yang
masih berusia dini, memiliki tingkat kecerdasan yang lebih baik daripada orang
berusia dewasa, maka mendasari mereka dengan
karakter mulia dan pengetahuan agama sejak dini sangatlah tepat. Mereka adalah
harapan masa depan bangsa. Meskipun mereka sudah mendapatkan pendidikan di
Taman Kanak-kanak yang notabene hanya memperkenalkan ilmu pengetahuan secara umum, tentu kurang
cukup untuk menjadi bekal mereka di masa
mendatang. Lantas terbesit dalam benak Mbah Yam keinginan untuk
menyelenggarakan pendidikan anak yang lebih mengerucut pada pengenalan baca
tulis Al Qur’an. Bagi Mbah Yam, anak-anak tak cukup hanya dididik di bidang
pengetahuan umum saja, sehingga pendidikan keagamaan guna mengenalkan mereka
pada Allah dan Rosul-Nya dirasa sangat
penting. Supaya
kelak mereka bisa menjadi orang yang cerdas intelektual sekaligus ‘alim dalam
urusan agamanya.
Dengan landasan himmah yang kuat untuk mencetak generasi qur’any
sebagai penerus para ulama’, akhirnya Mbah Yam mendirikan TPQ (Taman Pendidikan
Al Qur’an) Al-Amin. Di TPQ tersebut diselenggarakan kajian baca tulis Al Qur’an
menggunakan metode Qiroati serta disisipi beberapa kajian akhlak dengan
menceritakan tokoh-tokoh teladan dari kalangan ummat islam yang dikemas dengan
begitu menarik sehingga anak-anak tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajaran.
Kualitas TPQ Al Amin sudah tidak diragukan lagi. Masyarakat
berbondong-bondong menitipkan putra-putri kecilnya di TPQ Al Amin guna mengaji
Al Qur’an kepada Mbah Nyai Yam. TPQ Al Amin terus berkembang pesat hingga
jumlah santrinya membludak. Sedangkan tempat kegiatan mengaji di TPQ Al Amin
sangat terbatas. Akhirnya
kegiatan TPQ dilaksanakan di beberapa
tempat darurat disekitar dusun Karangmangu, Sarang hingga sampai kawasan dusun
Sarang Meduro.
Dimulai sejak itu, Mbah Yam mulai menunjuk beberapa santri untuk
ikut serta membantu beliau mendidik para santri TPQ Al Amin. Santri yang diutus
berkhidmah di TPQ Al Amin bukan santri sembarangan, beliau mengutus dengan
mempertimbangkan kualitas bacaan Al-Qur’an sekaligus kelihaian dalam
menyampaikan kisah-kisah teladan kepada anak. Sehingga para calon guru TPQ
Al Amin sebelum disahkan menjadi ustadzah terlebih dahulu harus melalui
tahapan penyeleksian yang diseleksi sendiri oleh beliau sehingga kualitas asatidzah
TPQ Al Amin benar-benar terjaga dengan baik. Di antara
santri TPQ Al Amin yang pada saat ini telah menjadi seorang ‘alim serta populer
diberbagai kalangan ialah Gus Rojih bin K.H. Ubab Maimoen bin K.H. Maimoen
Zubair.
Mbah Yam telah membuktikan, dengan kerja keras maka apapun bisa
dicapai. Beliau berjuang tanpa kenal lelah untuk mencetak generasi unggul serta
berakhlak mulia. Sosok beliau mengajarkan kepada kita untuk bisa merealisasikan
ide-ide yang terpikirkan menjadi suatu kenyataan dengan penuh perjuangan. Maka,
kita sebagai santri harus berusaha meneladani beliau.
Sumber : Ibu
Nyai Hj. Ulfah Fauziah Isma’il (Putri ke tiga dari Mbah Nyai Maryam)
Ibu Abidah (Santri
Ndalem PP Al Amin Putri)
Tulisan ini
merupakan salah stau dari tiga tulisan terbaik dalam Lomba Biografi Tokoh
Perempuan Pesantren yang diselenggarakan oleh JP3M pada 2019. Divisi Pendidikan
JP3M kembali menyeleksi tulisan-tulisan yang dianggap layak untuk
dipublikasikan untuk memperkaya khazanah tentang tokoh perempuan pesantren.