Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TAWADHU’

 

TAWADHU’

A.      Pengertian Tawadhu’

Karakter dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak, yaitu kondisi lahir dan batin manusia. Akhlak terbagi menjadi akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak baik seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur, dermawan, amanah, pemaaf, dan lapang dada. Akhlak buruk seperti gampang marah, kufur nikmat, riya’, rakus, sombong, dusta, pelit, khianat, dendam, dan dengki.

Tawadhu’ merupakan salah satu sikap terpuji yang dimiliki seorang mukmin. Tawadhu’ mempunyai anonim takabbur yang merupakan sikap yang dibenci Allah, sehingga sebagai seorang mukmin yang baik sikap tawadhu’ ini wajib kita miliki. Tawadhu’ merupakan sikap batiniah seseorang yang melahirkan tatakrama atau sopan santun, jadi tawadhu’ lebih luas cakupannya dibanding tatakrama atau sopan santun, walaupun sikap dengan dimensi batin namun tanda atau karakteristiknya dapat terlihat jelas.

Tawadhu’ Secara etimologi berasal dari kata wadh’a yang berarti merendahkan, juga berasal dari kata “ittadha’a” dengan arti merendahkan diri. Disamping itu, kata tawadhu’ juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu.

Tawadhu’ secara terminologi berarti rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Tawadhu’ menurut al-Ghozali dalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Tawadhu’ menurut Ahmad Athoilah hakekat tawadhu’ itu adalah sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah. Tawadhu’ artinya perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka memuliakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan orang lain, perilaku yang suka menghargai pendapat orang lain.

B.        Karakteristik Tawadhu’

Al-‘allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah wal Mudzaharah wal Muwazarah menjelaskan :

فمن أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر

Dari kutipan diatas dapat dilihat karakteristik tawadhu’ adalah sebagai berikut:

1)       Tidak berambisi menjadi orang terkenal

2)       Menjunjung tinggi kebenaran dari siapapun

3)       Mau/senang bergaul dengan fakir miskin

4)       Ringan tangan membantu orang lain yang membutuhkan

5)       Mudah mengucapkan terimakasih kepada orang yang membantunya

6)       Mudah memaafkan orang lain yang berbuat salah

Indikator sikap tawadhu’ menurut Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Akhlak menjelaskan:

1)  Tidak menonjolkan diri terhadap teman sebaya

2)  Berdiri dari tempat duduk untuk menyambut kedatangan orang

3)  Bergaul ramah dengan orang umum

4)  Mau mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya

5)  Mau duduk-duduk bersama dengan orang yang tidak setingkat

6)  Tidak makan minum dengan berlebihan

7)  Tidak memakai pakaian yang menunjukkan kesombongan.

Indikator bentuk tawadhu’ menurut Ibnu Athoillah dalam kitab al-Hikam menjelaskan:

1)  Berbicara santun

2)  Rendah hati

3)  Suka menolong

4)  Patuh terhadap orang tua

5)  Patuh terhadap nasihat guru

6)  Rajin belajar

7)  Dalam berpakaian dia rapi dan sederhana

Dzunun Al-Mishri berkata siapa saja yang ingin mempunyai sikap tawadhu’ ia harus merendahkan hawa nafsunya untuk melihat Kekuasaan Allah, sebab akan hilanglah kekuatan nafsu pada diri karena hati selalu dihadapkan dengan keagungan Allah.

 

 

C.        Jenis Tawadhu’

Khozin Abu Faqih dalam bukunya Tangga Kemuliaan Menuju Tawadhu, menjelaskan ada empat jenis tawadhu’ yaitu:

1)     Tawadhu’ kepada Allah

2)     Tawadhu’ kepada Rasulullah

3)     Tawadhu’ kepada agama

4)     Tawadhu’ kepada sesama manusia

 

D.        Resep Tawadhu’

Nasehat Imam Al-Ghozali mengenai tawadhu’ merupakan resep ampuh agar kita terhidar dari sikap takabbur:

1.          “Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai bahwa ia lebih baik darimu.

2.          Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan: “ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih baik dariku‟.

3.          Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan: “Orang ini telah telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia lebih baik dariku”. 

4.          Jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata: “ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada derajat yang aku belum sampai kepadanya”.

5.          Jika ia melihat orang bermaksiat, ia berkata: “ia melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Maka hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat”.

Allah berfirman dalam Q.S an-Najm ayat 32 :

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (Q.S an-Najm 32)

Orang yang memiliki sikap tawadhu' akan menyadari bahwa apa saja yang ia miliki, baik bentuk rupa yang cantik/tampan, nasab yang tinggi, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat/kedudukan dsb, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT.

Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata istilah yang menunjuk langsung pada kata tawadhu’. Akan tetapi, yang disebutkan adalah beberapa kata yang memiliki kesamaan arti dan maksud sama dengan kata tawadhu’ itu sendiri, seperti kata rendah diri, merendahkan, atau rendahkanlah, tidak sombong, lemah lembut dsb.

E.        Keutamaan Tawadhu’

Sikap tawadhu' tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, namun dia akan dihormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya. Lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah SWT semakin tinggi.

Rasulullah bersabda yang artinya: ‘Tidaklah seseorang yang tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah meninggikannya.” (HR. Muslim)

Sikap tawadhu’ akan membawa jiwa manusia kepada ajaran Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sikap tawadhu’ juga membimbing dan membawa manusia untuk menjadi seorang yang ikhlas, menerima apa adanya, membawa manusia ke suatu tempat dimana berkumpulnya orang-orang yang ikhlas menerima apa adanya, sehingga tidak serakah dan selalu berperilaku taat kepada Allah dan Rasulullah, dan juga cinta kepada makhluk Allah.

Semoga bermanfaat...

 

 

Oleh : Hikmatul Malikah_PP. Manba’ul A’laa Purwodadi Grobogan

JP3M Pusat_Bid. Pendidikan