Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Childfree dan Hukumnya dalam Fiqih

 


Menyoal Childfree  dan Hukumnya dalam Fiqih

Pengantar

Childfree merupakan keputusan seseorang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Fenomena childfree ini sedang menjadi trending topic di beberapa media sosial di Indonesia, di twitter maupun platform online lainnya. Trend ini sedang berkembang di Indonesiadan dan mulai ramai diperbincangkan saat salah satu "Youtuber" Gita Savitri membawa fenomena ini ketengah masyarakat umum. Hal ini menimbulkan banyak Pro-Kontra terkait kebebasan untuk mempunyai anak.  Apalagi Jika melihat data yang dikeluarkan world bank trend angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan pada 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia berada pada angka 17,75. Data ini didukung oleh hasil sensus penduduk yang dikeluarkan BPS dimana ada penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk pada 2010-2020 menunjukan angka 1,25% menurun dari periode sebelumnya pada 2000-2010 menunjukan angka 1,49%. Dengan melihat data tersebut, memperkuat adanya dugaan  keterkaitan dengan munculnya fenomena childfree.

 Childfree sebenarnya bukanlah istilah yang baru lahir, sebab tren ini sudah sejak lama berkembang di negara barat seiring dengan meluasnya liberalisme. Di Indonesia prinsip ini memang dirasa aneh oleh banyak kalangan bahkan menuai kontroversi. Jadi sebenarnya, memilih untuk childfree bukan berarti tanpa resiko, ditengah konservatifnya masyarakat Indonesia. Menjadi childfree akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Beberapa Alasan yang melatarbelakangi komunitas yang mengaku diri sebagai Childfree Commonity, di antaranya adalah kekhawatiran genetik, faktor finansial, mental yang tidak siap menjadi seorang ibu, bahkan alasan lingkungan. Lalu apakah prinsip ini dapat dibenarkan menurut kacamata Islam, ataukah sebaliknya? 

Sebagaimana diketahui, ajaran agama Islam menganjurkan penganutnya untuk melangsungkan pernikahan, di mana tujuan pernikahan tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, namun juga karena beberapa hikmah lainnya, sebagaimana dijelaskan Imam as-Sarkhasi (wafat 483 H) dalam kitabnya al-Mabsûth:

 ثم يتعلق بهذا العقد أنواع من المصالح الدينية والدنيوية. من ذلك حفظ النساء و القيام عليهن. ومن ذلك صيانة النفس من الزنا. ومن ذلك تكثير عباد الله تعالى وأمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وتحقيق مباهات الرسول صلى الله عليه وسلم بهم 

Artinya “Akad nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama atau kemaslahatan dunia. Di antaranya melindungi dan mengurusi para wanita, menjaga diri dari zina, di antaranya pula memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.” (Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], juz IV, halaman 349-350)

Dapat dipahami, tujuan pernikahan adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi kedua pasangan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hasan Sayyid Hamid Khitab dalam kitabnya, Maqâsidun Nikâh yang mengutip pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lâmul Muwaqqi’in menjelaskan tujuan pernikahan:

 وكذلك فى النكاح مقصوده حفظ نوع البشري و انجاب الولد الصالح. وهي أيضا علة حقيقة لشريعته. فلا يمكن تصور ولد الصالح بدون النكاح. فالنكاح سبب يتوصل اليه، والولد الصالح مقصود للشرع وللمكلف وإذا لم يوجد الزواج لم يوجد الولد الصالح 

Artinya “Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yang saleh. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak saleh tanpa pernikahan, sehingga menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak saleh merupakan maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan ada anak saleh.” (Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan Muqâranatan, (Madinah: 2009) halaman 9). 

Pentingnya memiliki keturunan dalam pernikahan pun telah tergambar dari sabda Nabi saw tentang anjuran menikah dengan wanita yang subur dan sabda Nabi saw tentang anak saleh adalah investasi yang tidak terputus meski orang tuanya meninggal. 

Hukum Asal Childfree dalam Kajian Fiqh 

Dalam kajian fiqih childfree secara riil dapat digambarkan dengan kesepakatan menolak kelahiran atau wujudnya anak, baik sebelum anak potensial wujud ataupun setelahnya. Sebab itu, pertanyaan hukum asal childfree dapat dijawab dengan menelusuri hukum menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita. Apakah haram atau makruh, atau boleh? Sebab dari sinilah hukum asal itu ditemukan.  Dalam kajian fiqih ada beberapa padanan kasus, yaitu menolak wujudnya anak sebelum sperma berada di rahim wanita, baik dengan cara

 (1) tidak menikah sama sekali;

 (2) dengan cara menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan; 

(3) dengan cara tidak inzâl atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah memasukkan penis ke vagina; atau

(4) dengan cara ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina. 

Secara substansial terdapat kesamaan dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud.  Berkaitan hal ini Imam al-Ghazali menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali menjelaskan: 

وَإِنَّمَا قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ، وَلَا نَصَّ وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ 

Artinnya, “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51). 

Childfree diperbolehkan jika yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada dirahim wanita, maka hukumnya adalah boleh.  Lalu bagaimana dengan hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan orang untuk menikah dan mempunyai anak? Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya, seperti dalam dua hadits berikut: 

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه

 Artinya, “'Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian mati syahid.' (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun Murtadla az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). (Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380). 

 مَنْ تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا ثَلَاثًا رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف

 Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf). (Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I, halaman 369 dan 403). 

Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia mendapatkan pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut. Sementara yang menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam berjihad adalah Allah. Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak tersebut dengan menyetubuhi istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya masuk ke dalam rahim istri. Menurut Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat anjuran, dan bila ada orang memilih tidak melakukannya atau memilih tidak punya anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan). (Al-Ghazali, II/51). 

Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”, maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan pilihan amal yang lebih utama. (Al-Ghazali, II/52).

Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya yang menyatakan menolak anak sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada dalam rahim perempuan adalah boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-Zabidi menyatakan:

 إِذْ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ شُرُوطِهِ. فَإِذَا تَزَوَّجَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا الْمَبِيتُ وَالنَّفَقَةُ. فَإِذَا جَامَعَ لَا يَجِبُ عَلَيهِ أَنْ يُنْزِلَ. فَتَرْكُ كُلِّ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ تَرْكٌ لِلْفَضِيلَةِ

Artinya, “Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.” (Az-Zabidi, V/380).

 Dengan demikian merujuk pendapat Imam al-Ghazali, dan  pendapat Az-Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka, hukum asal childfree adalah boleh. Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram. 

Hal ini juga ditegaskan dalam putusan Muktamar NU yang mengambil argumen bahwa penggunaan obat-obatan penunda kehamilan secara fiqih hukumnya ada 2 yaitu;  pertama) jika obat itu membuat orang tidak dapat punya anak sama sekali maka hukumnya  haram, dan kedua)  bila hanya menunda atau memperjarang kehamilan maka hukumya makruh. Dalam hal ini forum muktamar tersebut mengutip pendapat Syekh Ibrahim Al-Bajuri yang menjelaskan:

وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي

Artinya, “Demikian pula seperti hukum lelaki menghilangkan syahwat seksual dengan cara mengonsumsi kafur thayyar, yang makruh bila hanya berdampak mengurangi syahwat dan haram bila berdampak menghilangkannya secara total; hukum wanita menggunakan atau mengonsumsi sesuatu yang memperlambat kehamilan atau membuatnya tidak bisa hamil secara total, maka hukumnya makruh untuk yang pertama dan haram untuk yang kedua. (Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibni Qasim Al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putera], juz II, halaman 92).

Dua Kategori Hukum tersebut, bila disandingkan dengan hukum  childfree terdapat dua hukum, yaitu Makruh bila hanya sekadar menunda kehamilan; dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya secara mutlak.

Larangan Mengampanyekan Childfree  

Hukum Childfree dipersamakan dengan tahdîdun nasl dalam fiqih, yaitu Sama-sama menolak wujudnya anak. Jika bersifat permanen diharamkan tapi kalau tidak permanen dimakruhkan. Namun terdapat catatan tahdîdun nasl tidak boleh dilakukan dalam konteks menjadikannya sebagai prinsip hidup atau ideologis, dan diperbolehkan jika dalam konteks personal. Hal ini identik dengan Sebab tahdîdun nasl yang hanya boleh membatasi keturunan, sedangkan childfree yang menolak wujudnya anak dengan keyakinan anti pernikahan atau dengan cara memutus fungsi reproduksi manusia, maka tidak dibolehkan menurut fiqih Islam, bahkan dinilai merupakan sebagian dari macam kekufuran. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan: 

وَإِنْ كَانَ إِعْرَاضًا وَتَنَطُّعًا يُفْضِي إِلَى اعْتِقَادِ أَرْجَحِيَّةِ عَمَلِهِ، فَمَعْنَى فَلَيْسَ مِنِّي لَيْسَ عَلَى مِلَّتِي، لِأَنَّ اعْتِقَادَ ذَلِكَ نَوْعٌ مِنَ الْكُفْرِ

Artinya, “Bila keengganan menikah seseorang itu karena berpaling dan memutuskan diri dari nikah yang mengantarkan pada keyakinan atas lebih unggulnya pilihan sikapnya daripada syariat nikah, maka maksud ‘tidak termasuk golonganku’—dalam sabda Nabi saw—adalah tidak berada pada agamaku. Sebab keyakinan seperti itu merupakan salah satu macam dari kekufuran.” (Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut: Dârul Ma’rifah, 1379 H], juz IX, halaman 105-106).

jika pembatasan keturunan dalam konteks menjadi prinsip hidup semacam ideologi (mabda’) dan dikampanyekan maka dilarang, demikian pula childfree. Karenanya, tidak boleh menjadikan childfree sebagai prinsip hidup atau ideologi, mengampayekan dan mempromosikannya agar diikuti orang lain.  Lain halnya childfree dalam konteks pertimbangan personal, semisal karena kekhawatiran beban finansial yang dapat menjerumuskan orang pada pekerjaan-pekerjaan haram, alasan genetik dan semisalnya, maka tidak masalah, sebagaimana tahdîdun nasl dalam konteks personal juga tidak menjadi problem. Berkaitan hal ini Sayyid Muhammad menyampaikan menegaskan ulang:

 اَلْمُهِمُّ أَنْ لَا يَكُونَ ذَلِكَ مَبْدَأً أَوْ فِكْرَةً يَدْعُو إِلَيْهَا أَحَدٌ أَوْ يُحَسِّنُهَا لِلنَّاسِ 

Artinya, “Yang terpenting pembatasan keturunan itu tidak menjadi prinsip hidup, atau tidak menjadi pemikiran yang dikampanyekan untuk diikuti, atau dipromosikan kepada orang banyak.” (Al-Hasani, Adabul Islâm: 161).   

Kasimpulan

Childfree merupakan satu fenomena baru di abad modern ini yang membutuhkan telaah hukum islam/fiqih untuk bisa menjawabnya. Dalam hal ini rujukan hukumnya diqiyaskan dengan hukum pembatasan keturunan (Tahdidun Nasl) maka dilihat dari cara suami istri merealisasikan pilihan childfree terdapat dua hukum. Makruh bila hanya sekadar menunda kehamilan; dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya secara mutlak. Wallohu a'lam 

Referensi

Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II

Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I. 

Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibni Qasim Al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putera], juz II.

Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama, [Surabaya, Khalista, cetakan kedua: 2019], editor: A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha AM

Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V.

Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], juz IV.

Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan Muqâranatan, (Madinah: 2009).
https://islam.nu.or.id/post/read/130888/hukum-memutus-fungsi-reproduksi-melalui-childfree
https://www.medcom.id/foto/grafis/JKRW9apN-fenomena-childfree-di-indonesia

https://www.ngopibareng.id/read/fenomena-childfree-tren-kekinian-mematikan-fungsi-reproduksihttps://islam.nu.or.id/post/read/130789/trend-childfree-dalam-pandangan-islam