Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KITAB KUNING DAN KHAZANAH KEILMUAN DUNIA PESANTREN

 


KITAB KUNING DAN KHAZANAH KEILMUAN
DUNIA PESANTREN

Oleh: Ahmad Muhammad

 

            Sebagai referensi akademik utama, kitab kuning tidak bisa dilepaskan dari dunia pesantren yang telah menjadi ciri khas, yang melengkapi kekayaan khazanah dunia intelektual pondok pesantren.

            Mengenai sebutan kitab kuning yang sangat familiar di dunia pesantren, bermula dari ciri khas pada warna kertas yang digunakan untuk menulis kitab tersebut berwarna kuning. Istilah ini tak lebih sekedar untuk memudahkan dan sekaligus juga mengelompokkan kitab-kitab klasik yang ditulis dan diterbitkan sejak abad pertengahan hingga akhir abad 19. Pada perkembangannya kemudian muncul identifikasi untuk kitab-kitab kontemporer dengan sebutan kitab putih atau kitab abu-abu untuk jenis kitab dengan konten politik.

            Keberadaan kitab kuning, yang ditulis dengan bahasa Arab atau berhuruf Arab, merupakan produk pemikiran para ulama salaf dan ditulis dengan format khas abad 17 M. Format tersebut biasanya terdiri dari dua bagian: matan atau teks inti dan syarah (anotasi/komentar, teks penjelas atas matan). Matan selalu diletakkan di tengah dengan ruang yang lebih luas karena memrlukan penjelasan yang lebih mendalam dan komprehensif.

            Materi pada kitab kuning sessungguhnya tidak terbatas pada konten yang berhubungan dengan ilmu agama saja, tapi hampir semua disiplin ilmu ada.  Hanya saja yang lazim digunakan di pesantren Indonesia biasanya berhubungan dengan ilmu agama dan bahasa, seperti al Qur’an, Hadis, Fikih, Akhlaq, Tsawuf, Bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu yang dibutuhkan untuk menggali hukum Islam.

            Pada umumnya, di pesantren kitab kuning diajarkan dalam dua metode, yaitu: sorogan dan bandongan.  Sorogan, yaitu santri langsung menghadap satu per satu kepada kiai dengan membawa kitab tertentu dan membacanya. Kiai menyimak dan menilai kefasihan santri baik dalam makna maupun bahasa. Metode sorogan dinilai sebagai model pembelajaran unggulan karena merupakan bentuk uji kompetensi seorang santri langsung di hadapan guru, di mana kemampuan santri dalam kajian kitab yang dibaca bisa langsung dinilai oleh sang guru. Adapun metode Bandongan yaitu pengajaran kitab kuning dengan cara semua santri menghadap kiai bersamaan. Kiai kemudian membacakan kitab tertentu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan kiai di pinggir halaman kitabnya.

            Demi melestarikan tradisi akademik khas pesantren, kalangan santri dan pesantren harus menjadi yang terdepan dalam mempertahankan kitab kuning sebagai referensi oeisinalitas isi kitab dari upaya rekayasa merubah dan atau menghapus konten kitab oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab demi kepentingan tertentu. Dengan kerja keras dan komitmen yang kuat semata-mata hanya encari ridho Allah, ikhtiar menjaga kitab kuning sebagai salah satu khazanah kekayaan intelektual kaum muslimin merupakan sumbangsih tak ternilai yang akan bermanfaat bagi generasi masa depan yang penuh dinamika dan tantangan yang semakin berat.

 

 

Sumber:

Ahmad Muhammad, Manuskrip Tremas: Jejak Peradaban, Tradisi Keilmuan, dan Khazanah Intelektual Masyayikh Pondok Tremas, Phoenix Publisher, 2019.