Perempuan Pesantren dan Kesenjangan Digital
Perempuan Pesantren
dan Digital Gender Gap
Kamilia Hamidah, Lc.,MA.
Saat ini kita memasuki pada fase perkembangan
teknologi informasi, kita meyaksikan bagaimana inovasi-inovasi penting dalam
teknologi informasi telah memberikan dampak bagaimana pengaruh identitas dan
ekspresi keberagamaan dapat dirasakan di ranah virtual. Menurunnya ketimpangan
digital telah menjadikan masyarakat secara umum semakin cakap digital sehingga
hal ini memberikan dampak yang cukup signifikan dalam berbagai hal. Dalam buku
Digital Indonesia menggambarkan bagaimana landskap digital telah memberikan
pengaruh pada banyak sektor, mulai aspek konektifitas, identitas, pengetahuan
dan perdagangan. Sementara itu dari sisi pengguna, masyarakat Indonesia yang
saat ini adalah pengguna internet terbesar ketiga di dunia memberikan dua sisi
mata koin yang berseberangan, baik itu sebagai anugrah, sekaligus sebagai
petaka. Sebagai anugrah tentunya berkaitan pada bagaimana perkembangan
tekhnologi ini mampu memacu produktifitas dan kebermanfaatan bagi penggunanya,
sementara sebagai petaka, tentunya berkaitan erat dengan dampak negatif ketika
tekhnologi tidak dimanfaatkan secara proporsional.
Apa yang kemudian berubah dari
perkembangan teknologi informasi pada ranah komunikasi? internet telah mengubah
lanskap komunikasi secara fundamental. Jika dahulu, media tradisional
menawarkan model komunikasi ‘satu untuk banyak,’ sedangkan saat ini dengan
internet telah memberikan model tambahan yakni ‘banyak untuk satu.’ Perubahan
ini memberikan kesempatan bagi banyak orang secara simultan berinteraksi dengan
hanya satu akun. Dengan demikian, internet menawarkan potensi komunikasi yang
lebih terdesentralisasi dan demokratis jika dibandingkan dengan media
tradisional.
Selanjutnya dari sini kita dihadapkan
pada fenomena desa global yang menciptakan situasi dimana komunitas digital
dapat digerakkan oleh satu kesadaran atau satu perintah utama secara bersamaan
Kemunculan
komunitas digital memberikan aspek positif seperti penghapusan batasan sosial,
ras, etnis, gender, warna kulit dan perbedaan fisik lainnya. Namun, pada saat yang
sama, keberadaan komunitas digital dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan kohesi
sosial pada ranah dunia fisik karena pada praktiknya teknologi digital
berkontribusi pada berkembangnya penguatan kluster-kluster identitas individu
dan kelompok. Kenapa bisa terjadi? Hal ini karena pada kenyataannya, kita
sebagai bagian dari masyarakat digital lebih suka berinteraksi dengan komunitas
yang kita sukai sehingga secara tidak langsung, tanpa kita menyadari, kita
telah terkluster pada kelompok tertentu yang dibentuk oleh jejak digital kita
sendiri.
Fenomena
ini juga berdampak pada akses pada konten-konten keagamaan, dimana saat ini seseorang
cenderung akan mencari sumber informasi terkait agama melalui internet
ketimbang mencari dari sumber-sumber otoritatif, dikarenakan kemudahan akses
dan juga tidak berbatas ruang dan waktu. Maka tidak mengherankan jika saat ini
kita kerap menjumpai bagaimana popularitas da’i digital dengan banyak follower
dan subcriber, fatwanya lebih otoritatif dibandingkan ulama kredibel yang tidak
memiliki banyak follower atau subcriber. Yang menjadi pertanyaan, sudah cukup
banyakkah konten-konten keislaman moderat ‘Islam yang ramah’ sebagai konten
ramah netizen bagi muslim Indonesia? Ramah netizen ini tentu saja perpaduan
dari segi konten, tampilan menarik dan juga mudah dipahami oleh netizen
Indonesia.
Kondisi
ini semakin disuburkan dengan pandemi yang telah memasuki tahun kedua ini. Belajar,
bekerja, beribadah dirumah dan ragam bentuk kebijakan pembatasan sosial, sekolah
daring, telah semakin meningkatkan aktivitas digital sehingga tidak
mengherankan jika data terakhir Indonesia Digital Lanskap We Are Social
menyebutkan bahwa rata-rata netizen Indonesia mengakses internet selama kurang
lebih 8 jam sehari. Pada kenyatannya kekeringan spiritualitas kerapkali tidak
cukup diakomodir dalam ranah digital, beberapa majlis seperti jam’iyyah yasinan,
majlis ta’lim, muqaddaman, selapanan yang kerapkali menjadi ruang
perjumpaan untuk mengisi ulang baterai spiritualitas nyaris mati suri dan tidak
kemudian bertransformasi menjadi daring, namun digantikan dengan hiruk pikuk
aktivitas sosial media yang mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Sementara
itu majlis-majlis ini, kerapkali diampu dan dibina oleh tokoh agama perempuan
yang masih belum banyak yang menyadari pentingnya menjadikan majlis-majlis ini
menjadi majlis daring.
Disisi
lain, bagi perempuan, isu mengakses kerapkali dihadapkan pada masalah
keterbatasan kemampuan tekhnis, karena teknologi bukanlah teman akrab
perempuan, sehingga kendala penggunaan teknologi digital kerapkali menjadi
persoalan para perempuan saat berhadapan dengan media digital. Meskipun
ungkapan ini terkesan bias, namun tidak bisa dipungkiri keterbatasan kemampuan
tekhnis bagi kebanyakan perempuan kemudian berdampak pada kegagalan perempuan
untuk mengekplorasi dan mengoptimalkan fungsi-fungsi media digital, sehingga
pada akhirnya persoalan akses perempuan bercampur baur dengan masalah ketimpangan
representasi perempuan dalam ranah digital. Hal ini pula yang menjadikan masih
minimnya da’i muslimah yang go digital dengan jutaan follower maupun
subcriber, tentunya ini perlu menjadi perhatian penting bagi jam’iyyah
perempuan muballlighoh nusantara dalam mengupayakan pembangunan kecakapan
digital.
Menutup
catatan singkat ini, tentunya kesadaran literasi digital dengan mengkolaborasikan
empat pilar yakni pemahaman budaya digital, etika digital, keamaan digital dan
kecakapan digital menjadi kebutuhan nyata untuk menjadikan aktivitas dakwah dapat
semakin mudah diakses sekaligus mendorong munculnya influencer
muballighoh-muballighoh perempuan dalam ranah digital. Wallahu’alam Bishowab.