Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan Pesantren dan Kesenjangan Digital

 

Perempuan Pesantren dan Digital Gender Gap

Kamilia Hamidah, Lc.,MA.

            Saat ini kita memasuki pada fase perkembangan teknologi informasi, kita meyaksikan bagaimana inovasi-inovasi penting dalam teknologi informasi telah memberikan dampak bagaimana pengaruh identitas dan ekspresi keberagamaan dapat dirasakan di ranah virtual. Menurunnya ketimpangan digital telah menjadikan masyarakat secara umum semakin cakap digital sehingga hal ini memberikan dampak yang cukup signifikan dalam berbagai hal. Dalam buku Digital Indonesia menggambarkan bagaimana landskap digital telah memberikan pengaruh pada banyak sektor, mulai aspek konektifitas, identitas, pengetahuan dan perdagangan. Sementara itu dari sisi pengguna, masyarakat Indonesia yang saat ini adalah pengguna internet terbesar ketiga di dunia memberikan dua sisi mata koin yang berseberangan, baik itu sebagai anugrah, sekaligus sebagai petaka. Sebagai anugrah tentunya berkaitan pada bagaimana perkembangan tekhnologi ini mampu memacu produktifitas dan kebermanfaatan bagi penggunanya, sementara sebagai petaka, tentunya berkaitan erat dengan dampak negatif ketika tekhnologi tidak dimanfaatkan secara proporsional.

            Apa yang kemudian berubah dari perkembangan teknologi informasi pada ranah komunikasi? internet telah mengubah lanskap komunikasi secara fundamental. Jika dahulu, media tradisional menawarkan model komunikasi ‘satu untuk banyak,’ sedangkan saat ini dengan internet telah memberikan model tambahan yakni ‘banyak untuk satu.’ Perubahan ini memberikan kesempatan bagi banyak orang secara simultan berinteraksi dengan hanya satu akun. Dengan demikian, internet menawarkan potensi komunikasi yang lebih terdesentralisasi dan demokratis jika dibandingkan dengan media tradisional.

            Selanjutnya dari sini kita dihadapkan pada fenomena desa global yang menciptakan situasi dimana komunitas digital dapat digerakkan oleh satu kesadaran atau satu perintah utama secara bersamaan (McLuhan, 1962). Bentuk baru dari konektivitas digital ini menjadikan kita semakin jarang terkoneksi secara langsung berdasarkan garis etnis atau geografis. Dapat disimpulkan bahwa komunitas digital adalah kelompok yang dipertahankan melalui relasi koneksi digital ketimbang kedekatan geografis, dibangun atas kebutuhan dan keingintahuan yang sama, atau pada perhatian dan minat yang sama sehingga hal ini diproyeksikan ke dunia maya dengan cara yang bermakna dan menggugah kesadaran emosional (Ohler, 2010), maka tidak mengherankan jika seringkali kita mendengar, internet telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

Kemunculan komunitas digital memberikan aspek positif seperti penghapusan batasan sosial, ras, etnis, gender, warna kulit dan perbedaan fisik lainnya. Namun, pada saat yang sama, keberadaan komunitas digital dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan kohesi sosial pada ranah dunia fisik karena pada praktiknya teknologi digital berkontribusi pada berkembangnya penguatan kluster-kluster identitas individu dan kelompok. Kenapa bisa terjadi? Hal ini karena pada kenyataannya, kita sebagai bagian dari masyarakat digital lebih suka berinteraksi dengan komunitas yang kita sukai sehingga secara tidak langsung, tanpa kita menyadari, kita telah terkluster pada kelompok tertentu yang dibentuk oleh jejak digital kita sendiri.

Fenomena ini juga berdampak pada akses pada konten-konten keagamaan, dimana saat ini seseorang cenderung akan mencari sumber informasi terkait agama melalui internet ketimbang mencari dari sumber-sumber otoritatif, dikarenakan kemudahan akses dan juga tidak berbatas ruang dan waktu. Maka tidak mengherankan jika saat ini kita kerap menjumpai bagaimana popularitas da’i digital dengan banyak follower dan subcriber, fatwanya lebih otoritatif dibandingkan ulama kredibel yang tidak memiliki banyak follower atau subcriber. Yang menjadi pertanyaan, sudah cukup banyakkah konten-konten keislaman moderat ‘Islam yang ramah’ sebagai konten ramah netizen bagi muslim Indonesia? Ramah netizen ini tentu saja perpaduan dari segi konten, tampilan menarik dan juga mudah dipahami oleh netizen Indonesia.

Kondisi ini semakin disuburkan dengan pandemi yang telah memasuki tahun kedua ini. Belajar, bekerja, beribadah dirumah dan ragam bentuk kebijakan pembatasan sosial, sekolah daring, telah semakin meningkatkan aktivitas digital sehingga tidak mengherankan jika data terakhir Indonesia Digital Lanskap We Are Social menyebutkan bahwa rata-rata netizen Indonesia mengakses internet selama kurang lebih 8 jam sehari. Pada kenyatannya kekeringan spiritualitas kerapkali tidak cukup diakomodir dalam ranah digital, beberapa majlis seperti jam’iyyah yasinan, majlis ta’lim, muqaddaman, selapanan yang kerapkali menjadi ruang perjumpaan untuk mengisi ulang baterai spiritualitas nyaris mati suri dan tidak kemudian bertransformasi menjadi daring, namun digantikan dengan hiruk pikuk aktivitas sosial media yang mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Sementara itu majlis-majlis ini, kerapkali diampu dan dibina oleh tokoh agama perempuan yang masih belum banyak yang menyadari pentingnya menjadikan majlis-majlis ini menjadi majlis daring.

Disisi lain, bagi perempuan, isu mengakses kerapkali dihadapkan pada masalah keterbatasan kemampuan tekhnis, karena teknologi bukanlah teman akrab perempuan, sehingga kendala penggunaan teknologi digital kerapkali menjadi persoalan para perempuan saat berhadapan dengan media digital. Meskipun ungkapan ini terkesan bias, namun tidak bisa dipungkiri keterbatasan kemampuan tekhnis bagi kebanyakan perempuan kemudian berdampak pada kegagalan perempuan untuk mengekplorasi dan mengoptimalkan fungsi-fungsi media digital, sehingga pada akhirnya persoalan akses perempuan bercampur baur dengan masalah ketimpangan representasi perempuan dalam ranah digital. Hal ini pula yang menjadikan masih minimnya da’i muslimah yang go digital dengan jutaan follower maupun subcriber, tentunya ini perlu menjadi perhatian penting bagi jam’iyyah perempuan muballlighoh nusantara dalam mengupayakan pembangunan kecakapan digital.

Menutup catatan singkat ini, tentunya kesadaran literasi digital dengan mengkolaborasikan empat pilar yakni pemahaman budaya digital, etika digital, keamaan digital dan kecakapan digital menjadi kebutuhan nyata untuk menjadikan aktivitas dakwah dapat semakin mudah diakses sekaligus mendorong munculnya influencer muballighoh-muballighoh perempuan dalam ranah digital. Wallahu’alam Bishowab.