Berkerudung Tidak Dijulurkan Menutup Dada, Bolehkah?
Berkerudung Tidak Dijulurkan Menutup Dada,
Bolehkah?
(Kajian Bidang Tahfidz dan Tafsir)
Beberapa hari ini ramai beredar video tiktok remaja
berjilbab di mana jilbab tersebut menjulur dan menutupi bagian dadanya, ia
membawa pesan tertulis dengan mencantumkan penggalan QS. An Nur ayat 31 di
bawah ini dengan disertai terjemahan yang diartikan sebagai berikut:
وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ [النور: 31]
"Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya"
Bila anda membaca terjemahan tersebut, terlihat
seolah konten video tersebut benar. Sebuah teks tidak terlahir dalam sebuah
ruang kosong, ia hadir di tengah sistem budaya, sosial, peradaban, serta sebuah
ekspresi tertentu. Karenanya, ia harus dipahami secara utuh. Ayat tersebut
turun untuk merespons kebiasaan wanita Arab saat itu yang gaya berkerudungnya
hanya memakai kain yang diletakkan di atas kepala dengan kedua ujungnya
dibiarkan menjuntai ke belakang. Dengan demikian, kulit tubuh di bagian
telinga, leher dan dada bagian atas masih terlihat.
Dalam banyak kitab tafsir semisal Tafsir
as-Samarqandi, Tafsir al-Maturidi dan lainnya, dikutip pernyataan
Sahabat Ibnu Abbas yang bercerita tentang konteks ayat itu sebagai berikut:
وكن النساء قبل هذه الآية إنما يسدلن
خمرهن سدلا من ورائهن كما يصنع النبط، فلما نزلت هذه الآية شددن الخمر على النحر
والصدر
"Para
Wanita sebelum ayat ini turun hanya menjulurkan kerudungnya ke belakang
(punggung) seperti dilakukan rakyat jelata (para pekerja). Setelah ayat ini
diturunkan, maka mereka menutupkan kerudung ke leher dan dada".
Makna kata juyub (جيوب) dalam
ayat itu juga sebenarnya bukan dada. Kata "dada" dalam bahasa Arab
adalah shadr (صدر). Kata juyub merupakan bentuk
plural dari kata Jayb. Istilah jayb al-qamis dalam kamus al-Muhith
dimaknai sebagai
ما يدخل منه الرأس عند لبسه
"Jalan
masuknya kepala ketika memakai gamis"
Jadi, jayb
artinya adalah kerah baju di bagian leher. Dalam kasus gamis atau baju
kurung, dari kerah inilah kepala dimasukkan. Karena kerah itu celah, maka sudah
pasti ketika dipakai akan menyisakan bagian kulit yang tetap terlihat, yakni
dada atas, leher dan dagu. Yang paling bawah dari ketiganya adalah bagian dada
sehingga bila diterjemah menjulurkan kain penutup kepala ke dada, maka otomatis
tertutuplah bagian lainnya sehingga maksud ayat itu tersampaikan.
Kerena itu, banyak ulama yang mengartikan ayat
tersebut dengan kewajiban menutup leher dan dada. Ibnu Abi Hatim dalam
tafsirnya berkata:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ يَعْنِى النَّحْرَ وَالصَّدْرَ وَلا يُرَى مِنْهُ شَيْءٌ
"Menutupkan
kerudung ke kerah mereka, maksudnya adalah menutup leher dan dada sehingga
tidak ada yang terlihat sedikit pun".
Senada dengan itu, Ibn Abi Zamnin dalam tafsirnya
juga menafsirkannya sebagai:
تَسْدِلُ الْخِمَارَ عَلَى جَيْبِهَا
تَسْتُرُ بِهِ نَحْرَهَا
"Si
perempuan agar menjulurkan kerudung pada kerah bajunya sehingga lehernya
tertutupi"
Perlu dicatat juga bahwa kata "dada"
adalah organ tubuh di bawah leher. Bedakan antara dada (صدر) dan
payudara (ثدي). Menutup bagian dada artinya menutupi
kulit di area bawah leher tempat kerah baju sehingga tidak ada kulit yang
terlihat di sana. Bila kulit di area itu sudah tertutup sepenuhnya, maka
tuntutan ayat ini artinya sudah terpenuhi, tidak peduli lagi apakah gaya
kerudungnya dililitkan di leher ataukah ujungnya dijulurkan ke belakang.
Adapun soal kasus bagian payudara wanita terlihat
lebih menonjol bila dibandingkan dengan leher atau pun perutnya tatkala
kerudungnya dililitkan ke belakang, maka tidak ada masalah asalkan tidak ada
bagian kulit yang terlihat sebab kenyataannya postur wanita memang diciptakan
demikian. Dalam kasus-kasus ini tidak bisa serta merta diharamkan secara mutlak
dengan alasan memperlihatkan lekuk tubuh. Bahkan ketika perempuan memakai baju
gamis dan kerudung yang dijulurkan panjang ke depan sekalipun, selalu akan ada
bagian tubuh yang terlihat lebih menonjol dari bagian lainnya. Hal semacam ini
wajar dan tidak perlu berpikiran macam-macam (ngeres) karenanya.
Ada satu hadis yang perlu dibahas perihal ini,
yakni:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ:
«كَسَانِي رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قُبْطِيَّةً
كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَى لَهُ دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا
امْرَأَتِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مَا
لَكَ لَا تَلْبَسُ الْقُبْطِيَّةَ؟ فَقُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا
امْرَأَتِي، فَقَالَ: مُرْهَا أَنْ تَجْعَلَ تَحْتَهَا غِلَالَةً فَإِنِّي أَخَافُ
أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا
"Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memakaikanku baju Qubthiyyah yang lebar.
Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku
memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu saat Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam menanyakanku: ‘Kenapa baju Qubthiyyah-nya tidak dipakai?’. Aku
menjawab, ‘Baju tersebut kupakaikan pada istriku, wahai Rasulullah’. Beliau
berkata, ‘Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Qubthiyyah
itu menggambarkan bentuk tulangnya’ (HR. Ahmad)
Sebagian orang memaknai hadis yang sanadnya kurang kuat
tersebut untuk secara mutlak melarang semua model pakaian yang menampakkan
lekukan tubuh, meskipun tidak realistis. Pemaknaan ini tidak tepat karena Qubthiyah
merupakan kain tipis yang masih tembus pandang sehingga lekukan tulang terlihat
jelas bila tidak digunakan pakaian rangkap. Asy-Syaukani menjelaskan:
«قَوْلُهُ: (غِلَالَةً) الْغِلَالَةُ بِكَسْرِ الْغَيْنِ الْمُعْجَمَةِ
شِعَارٌ يُلْبَسُ تَحْتَ الثَّوْبِ كَمَا فِي الْقَامُوسِ وَغَيْرِهِ.
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَسْتُرَ
بَدَنَهَا لَا يَصِفُهُ وَهَذَا شَرْطٌ سَاتِرُ الْعَوْرَةِ.، وَإِنَّمَا أَمَرَ
بِالثَّوْبِ تَحْتَهُ لِأَنَّ الْقَبَاطِيَّ ثِيَابٌ رَقِيقٌ لَا تَسْتُرُ
الْبَشَرَةَ عَنْ رُؤْيَةِ النَّاظِرِ بَلْ تَصِفُهَا.»
"Kata
Ghilalah (kain rangkap) dengan dibaca kasrah huruf Ghain-nya adalah
kain yang digunakan di balik baju, seperti dalam al-Qamus dan referensi lain.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa wajib seorang wanita untuk menutup badannya,
tidak menampakkannya. Inilah adalah syarat menutup aurat. Diperintah untuk
diberi rangkap di bawahnya hanya karena kain Qubthiyyah adalah pakaian
tipis yang tidak menutup kulit dari pandangan orang yang melihat, tetapi masih
menampakkannya." (Nail al-Awthar)
Dari penjelasan di atas kita tahu bahwa terlihatnya
lekuk tubuh aurat yang diharamkan hanyalah lekuk tubuh yang menampakkan alur
permukaan tubuh secara jelas seperti dalam kasus pakaian renang atau bahan kaos
yang ketat di masa ini. Nabi Muhammad menggunakan istilah "menampakkan
bentuk tulang" untuk menyebut makna ini. Tulang yang menonjol terlihat,
yang cekung juga terlihat. Anda pernah tanpa sengaja melihat garis celana dalam
orang yang berjalan di depan anda? Nah, seperti itulah contoh berpakaian yang
haram karena memperlihatkan lekuk tubuh. Lekukan apa pun dapat terlihat bila
pakaiannya terlalu tipis, terlalu ketat atau transparan. Dalam kasus tertentu,
pakaian yang terlalu longgar dengan bahan yang lembut serta jatuh juga dapat
memberikan efek keharaman yang sama.
Bila keterangan semacam itu dimaknai bahwa semua lekukan
tubuh terlarang dilihat hingga lekukan postur tubuh sekali pun haram, maka
ketika diberi kain rangkap sekalipun tetap terlihat bentuk postur tubuhnya
bukan? Dengan kata lain solusi dari Nabi Muhammad juga dianggap percuma. Ini
menjadi bukti bahwa bukan itu maksudnya. Sepertinya lekukan postur tubuh baru
tertutup sempurna apabila memakai kardus, tetapi bukankah tidak ada yang
memerintahkan berlebihan seperti itu? Jadi, jangan sampai gegabah menyalahkan
wanita baik-baik hanya karena postur tubuhnya masih tampak selama detail
seperti "lekukan tulangnya" tidak terlihat.
Dengan kata lain, dalam kasus pakaian normal dan
wajar seperti kita lihat sehari-hari di mana penggunanya tidak bisa disebut
"telanjang" atau "semi telanjang", maka tidak masalah
meskipun jelas bahwa ukurannya tidak lurus (tidak rata) dari atas ke bawah
karena ada bagian yang lebih lebar dan ada yang lebih sempit. Ada hadis tentang
kasiyat ariyat (wanita berpakaian tetapi telanjang) yang relevan dengan
pembahasan ini, tetapi lebih enak bila hadis tersebut dibahas tersendiri sebab
kesimpulannya juga tidak sesederhana seperti terjemahannya.
Allahu A’lam
Tulisan
di atas disarikan dari keterangan KH. Abdul Wahab Ahmad (Anggota LBM
PWNU Jatim, Wakil Sekretaris PCNU Jember, Peneliti Bidang Akidah di Aswaja NU
Center PWNU Jatim, dan Dosen UIN KHAS Jember)