Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

GURU, AROGAN ATAU TELADAN?

 


 GURU, AROGAN ATAU TELADAN?        

Ibu Nyai Ummy Atika, Bidang Pendidikan JP3M

 

Pondok pesantren layaknya sebuah kerajaan kecil, dengan kyai sebagai rajanya dan putra putrinya sebagai pangeran dan putri. Kyai mempunyai keputusan mutlak dalam mengelola pondok pesantren. Menentukan model pembelajaran, tata tertib, kurikulum dan karakter pondok, merupakan otoritas kyai. Keputusan apapun, mutlak ada ditangan Kyai

Dengan gambaran seperti itu, bisa dibayangkan, apa yang diucapkan kyai akan menjadi Sabdo Pandita Ratu. Dan apa yang diinginkan gus atau ning, adalah perintah yang wajib dilaksanakan tanpa bertanya lagi benar salahnya. Karena bertanya, artinya meragukan kapasitas kyai, dan itu bisa jadi sebuah larangan dalam pondok pesantren.

Namun, apakah memang itu yang terjadi dalam kerajaan kecil bernama pondok pesantren?

Saya sering melihat dan mendengar bapak dan beberapa teman mondoknya bercengkrama. Menceritakan kelakuan tidak wajar kala itu. Mengenang “kenakalan” mereka sambil tertawa riuh. Bagaimana bapak menyembelih ayam Mbah Juki (panggilan KH. Marzuki Dahlan, Lirboyo) karena uang wesel belum datang. Ada juga yang mengambil mangga dari depan ndalem tanpa pamit. Mengisahkan mereka pulang dari nonton bioskop dan dipergoki mbah Juki. Ada juga yang menceritakan kisah anak baru yang meminta tolong dibawakan tas nya ke kamar, dan ternyata yang membawakan itu adalah kyainya. Malu bukan kepalang. Dan cerita-cerita itu akan berakhir dengan tundukan kepala, mata menerawang, senyum tipis dan bisikan lirih,

“ Mbah Juki hanya mesem (tersenyum)”

Beliau satu dari sekian ratus ribu kyai yang mungkin kita kenal. Dan serupa, tidak ada sikap arogan atau menang sendiri. Dengan kuasa mutlaknya, tidak terkesan ingin dihormati. Karena Kyai sadar betul,  bahwa tugasnya tidak hanya mengajar dan memahamkan santri terhadap ilmunya. Tetapi, kyai juga mendidik yang bertanggungjawab dengan perkembangan akhlak para santri. Imam Ghazali bahkan memberi istilah guru dengan “al walid” yang artinya orangtua. Kyai adalah pengganti orangtua bagi para santri ketika berada di pondok pesantren. Jadi menyayangi dan memperlakukan santri dengan manusiawi, menjadi tugas seorang kyai. Tidak ada alasan berlaku seenaknya hanya karena sebagai pemimpin pucuk, karena guru itu “digugu lan ditiru”. Apa yang dilakukan akan menjadi teladan bagi santrinya.

Begitulah seharusnya akhlak seorang guru. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai predikatnya digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Seorang guru juga harus menjaga lisan dan emosinya. Agar setiap ucapannya adalah doa untuk kebaikan santri. Selain itu, seorang guru juga harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik, supaya tidak hanya menghasilkan santri yang mumpuni akademisnya, tetapi juga berakhlak mulia.

Wallahua’lam