Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TELADAN

ANAK MELAWAN ORANGTUA, SALAH SIAPA?

 Penulis: UMMY ATIKA
(Bidang Pendidikan JP3M Nusantara)

Setiap orangtua pasti mendambakan anak yang patuh dan taat dengan orangtuanya. Dengan dalih demi kebaikan anaknya, orangtua seringkali membuat aturan “halal haram” dalam perilaku sang anak, dengan standar keinginan orangtua. Apa yang menurut orantua baik, dianggap pasti memberikan manfaat bagi anaknya. Dan apa yang dinilai buruk, seolah akan menjerumuskan anak pada kesialan sepanjang hayat.

Masalahnya, tidak semua yang di undang-undangkan orangtua akan diamini oleh anak. Rasa malas, enggan, tidak sesuai hati nurani atau bosan seringkali menghinggapi, sehingga anak-anak mangkir dari patuh pada orangtuanya. Dan sebagai orangtua, tentu saja hal ini menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana jadinya anak-anak ini jika tidak menuruti aturannya. Akankan jadi sesuai dengan yang diharapkan. Jika tidak sesuai dengan harapan orangtua, akankah dia bisa menjadi orang yang sukses. Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang mungkin terbersit dalam benak orangtua.

Dalam kitab Ats Tsawab, diceritakan sebuah hadits :

رَحِمَ اللهُ وَالِدًا أَعَانَ وَلَدَهُ عَلَى بِرِّهِ ( رواه أبو شيج ابن حبان فى كتاب: الثواب عن علي رضي الله عنه )

 

Artinya: Allah merahmati orangtua yang membantu anaknya untuk berbakti kepada mereka. (HR. Ibnu Hibban)

 

Seperti kertas kosong, anak-anak perlu garis tepi untuk mengerti dimana dan bagaimana cara bersikap. Lantas, bentuk bantuan apa yang harus diberikan orangtua terhadap anak?

 

Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad , (lahir di Tarim Hadramaut, Yaman, 30 Juli 1634 ), mengatakan dalam kitabnya Nashoihud Diniyah

أن يعينوا أولادهم بالمسامحة و ترك المضايقة فى طلب قيام الحقوق , و مجانبة الإستقصى فى ذالك و لا سيما فى هذه الأزمنة التي قل فيها البر البارون و فشا فيها العقوق و كثر العاقون

Artinya :

Membantu anak untuk menjadi anak yang berbakti adalah dengan bersikap toleran dan berlapang dada, tidak menyusahkan anak dengan berbagai tuntutan-tuntuan karena merasa bahwa orang tua harus di taati, juga tidak menuntut hal yang berat untuk di lakukan oleh anak. Terlebih lagi zaman ini adalah zaman dimana sifat berbakti dan orang yang berbakti kepada orang tua  pun sudah sulit di temui, juga telah banyak tersebar kedurhakaan dan orang yang durhaka kepada orang tua.

 

Birrul walidain bisa menjadi problem tersendiri bagi seorang anak, ketika tidak searah dengan orangtua.  Seringkali terjadi perselisihan karena apa yang diinginkan orangtua tidak sejalan dengan kemauan anak. Dan ini berbanding terbalik dengan kewajiban anak untuk berlaku baik pada orangtuanya.

Menjadi orantua yang baik menjadi satu-satunya solusi dalam permasalahan ini. Baik tidak  selalu mengalah pada anak, baik tidak harus membiarkan anak melakukan hal yang membuat dia asal senang. Baik juga tidak berarti memberikan semua yang diinginkan anak tanpa adanya batasan. Tapi baik artinya kita memenuhi hak anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Seperti kasih sayang, pendidikan, agama, rasa aman, nyaman, dan tidak ketinggalan adalah kedekatan emosional. Baik artinya kita bisa memberi contoh apa yang boleh dan apa yang harus ditinggallkan. Menjadi role model bagi anak, akan memudahkan seorang anak mengerti bagaimana menempatkan dirinya.

Mempunyai anak, tidak serta merta menjadikan kita orangtua yang baik. Banyak proses yang harus dilalui yang seringkali tidak mudah. Sehingga belajar dan membenahi diri adalah 2 kata yang mutlak harus dijalani jika ingin menjadi orangtua yang baik. Memperbaiki diri terus menerus sebelum menuntut anak menjadi baik, karena anak yang hebat lahir dari orangtua yang tak berhenti belajar.

 

Satu nasihat bijak dari KH. Qusyairi kepada KH. Ahmad Shidiq:

“jika anakmu tidak taat padamu, segera ambil air wudlu dan bertaubatlah. Bisa  jadi itu karena kau juga belum taat pada Tuhanmu”.

 

Waalahua’lam