Kriteria Memilih Seorang Istri (Studi Matan Hadis)
Kriteria Memilih Seorang Istri
(Studi Matan Hadis)
Farida Ulvi
Na’imah
(Khadimah di
PP. Al-Hidayah Ketegan Tanggulangin Sidoarjo)
Berbicara
tentang tentang
kriteria pemilihan seorang istri, kita sering
disuguhkan hadis
berikut
ini:
تنكح المرأة لآربع لمالها ولحسابها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت
يداك
Hadis
ini menjelaskan bahwasanya
anjuran memilih
seorang istri dapat dilihat dari harta, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Namun
jika seseorang menjatuhkan pilihannya atas perempuan yang beragama, maka orang
tersebut tidak akan mendapatkan kesengsaraan.
Berhubungan dengan hadis di atas, al-Qur’`an juga
menyinggung perihal kriteria pemilihan calon istri seperti dalam QS. An-Nisa
(4) ayat 3 dan QS. An-Nur (24) ayat 26 berikut
ini:
فا نكحوا ما طاب لكم من النسأ
“ Maka nikahilah siapa yang kamu senangi dari
wanita-wanita.”
الخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات واطيبات للطيبين
“Bahwa wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji
adalah untuk wanita-wanita yang keji, begitu pula wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik pula”.
Dasar pengambilan ayat pertama
(An-Nisa:3) adalah opsi dari
Allah SWT kepada hambanya untuk menikahi perempuan yang
disenangi. Dalam tafsir al-Jalalain karangan Jalaluddin as-Suyut}i dan
Jalaluddin al-Mahalli, lafadz طاب memiliki isim
fa`il طيب yang artinya makhluk yang baik, di mana implementasinya adalah perempuan yang ideal menurut pandangan Islam
adalah perempuan yang baik agamanya. Adapun untuk kriteria yang lain: yakni
kecantikan, pangkat serta kekayaan adalah hal-hal yang baik namun dalam konteks
ini hanya sebagai pelengkap.
Ayat yang kedua (An-Nur: 26) memberikan pengertian bahwa, sebelum seseorang
menjatuhkan pilihannya atas beberapa kriteria tersebut di atas, ia harus mendahului dengan sikap memperbarui diri. Prof. Dr. Quraish Shihab
memaparkan bahwa perempuan yang buruk untuk kehidupan adalah perempuan yang buruk
dalam urusan
agamanya, begitu juga sebaliknya, perempuan yang baik untuk kehidupan adalah
perempuan yang baik agamanya. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam QS. An-Nur ayat 3:
الزانى لا ينكح الا زانية او مشركة
“Bagi para
pezina tidak pantas menikah kecuali dengan pezina pula baik laki-laki atau
perempuan”.
Dari ayat di atas, Prof. Dr. Quraish
Syihab menyatakan bahwa Allah SWT memberikan kriteria baik dari segi agamanya
dengan menyimpulkan arti serta pengertian berdasarkan mahfum mukhalafah-nya.
Artinya, Allah
SWT mencontohkan orang yang buruk itu adalah orang yang buruk dari segi agamanya.
Adapun beberapa hadis yang semakna dengan matan hadis tentang kriteria dalam pemilihan calon istri
di atas, antara lain diperkuat oleh hadis sebagai berikut:
الدنيا متاع وخير متا عها المرأة الصالحة
“Dunia adalah
tempat yang indah dan seindah-indahnya kesenangan adalah perempuan yang
shalihah”.
الدنيا متاع وخير متاعها المرأة تصين زوجها
“Dunia adalah tempat untuk bersenang-senang dan sebaik-baiknya
kesenangan adalah wanita yang membantu suaminya dalam urusan akhirat”.
Dari kedua hadis di
atas
menunjukkan bahwa perempuan ideal sebagai calon istri adalah perempuan yang
membantu suaminya dalam urusan akhirat, dalam konteks ini adalah permasalahan agama. Adapun
historisitas kemunculan hadis ini dilatar belakangi oleh sahabat Jabir yang hendak
menikah dan ditanya oleh Rasulullah SAW dengan pertanyaan: “Kamu hendak menikahi perempuan atau janda?”. Jabir menjawab bahwa dia akan menikahi seorang janda
yang kaya raya dan cantik, kemudian Nabi berkata: “Dari pilihanmu ini (baik janda atau perawan) berilah
dia mau`’idzah dan ingatlah, lihatlah dia dari urusannya terhadap Allah
SWT.
Dari
Asba>b al-Wuru>d di atas, bahwa menikahi perempuan hendaknya
karena urusan taqwa dan luasnya pandangan atas urusan agama. Karena jika tidak, maka seseorang akan merugi dan
tidak mendapatkan kebahagiaan dunia yang berimbang pada akhirat. Hal ini secara
rasio dapat kita samakan dengan kisah Nabi Sulaiman yang dari tiga opsi pilihan
Allah SWT
yaitu tentang
harta, tahta, dan ilmu. Maka Nabi Sulaiman memilih ilmu sebagai pegangan hidupnya, karena
dengan menguasai ilmu dan luas pandangan dalam hal agama, maka ia
akan mampu
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Referensi
penunjang:
Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, bab al-Nikah
Jalaluddin
as-Suyuti dan al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain, Surabaya: al-Hidayah, t.t
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, Bandung, Mizan, 2003