Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gelas Pecah (Cerita Pendek)

 "Biar suamimu yang menunggumu beberapa hari ini. Bapak baru akan datang lusa" begitu jawab bapak melalui telfon. Diaminkan oleh ibuku di sampingnya. 


Lalu lelaki itu pun datang.


Kulirik sosok tegap yang muncul di bibir pintu rumah sakit dengan baju Koko dan peci putihnya. Masih setampan dan masih selembut yang dulu. Dan beberapa detik lagi ia akan duduk di tepi ranjangku, mengambilkan obat dan menyuapi makanan pengantar.


Beberapa bulan yang lalu, aku dan Mas Huda masih satu rumah. Kepulanganku dari Taiwan sebagai TKW pun masih ia sambut dengan senyum manis. Beberapa hari kami sempat menghabiskan malam malam seperti layaknya pengantin muda dulu. Sholat berjamaah, esok pagi kami memasak berdua untuk sarapan dalam satu meja. Dia pun menunjukkan mimik bahagia kala melihatku berjilbab lebih lebar dari sebelum kepergian ku ke Taiwan. "Kamu semakin anggun Rani, dengan gamis syar'i itu!" Pujinya. 


Namun keromantisan itu akan menguap dalam waktu beberapa Minggu. Karena lagi lagi ia mulai menunjukkan ketidakbetahannya di rumah minimalis pinggir kota yang aku beli dari gaji TKW ku. Ia akan sering pulang lagi ke rumahnya di desa karena selain menjadi pemasok sayur, ia juga sibuk ikut mengajar ngaji anak anak dan remaja tetangga. Ia akan pura pura lupa dengan permintaanku bertahun tahun lamanya kalau aku tidak betah di tinggal serumah dengan mertua di pedesaan yang akut. Ia mulai tidak mau berusaha beradaptasi di rumah baru minimalis ini yang telah susah payah aku membelinya dengan menabung. 


Keharmonisan kami pun dipertaruhkan lagi. Seperti yang sudah sudah, Seperti sebelum kepergianku ke Taiwan empat tahun yang lalu, Dimana aku bosan tinggal di desa terpencil dengan penghasilan pas-pasan, kehidupan sederhana jauh dari hiruk pikuk dan progresnya hidup. Bosan mendengar ocehan mertua jika sedang tidak seirama. Bosan mendengar saudara ipar yang kadang-kadang meracau. Bosan menonton suami yang hanya bekerja di ladang atau menerima pesanan sayur mayur dari bos kota. 


Karena itulah empat tahun lalu aku memohon padanya untuk yang kedua kali, bekerja lagi terbang jauh ke Taiwan demi meraih impian-impian materi termasuk kendaraan dan rumah minimalis itu. Karena tinggal sederhana dengannya sudah pasti tak dapat merealisasikan itu. 


Aku berharap kelak jika rumah telah aku beli, kami bisa merajut kembali keharmonisan biduk rumah tangga, menjemput anakku Azzam di Lampung. Menikmati rumah baru bertiga.  Dan kepulanganku dari Taiwan yang kedua kali membawa berjuta mimpi yang tetiba kandas lagi. 


Aku pun merutuki pilihan bapakku yang dulu getol menjodohkan antara aku dengan Mas Huda hanya gara gara ia akrab dengan kakakku, tampak Solih dan bisa ngaji. Sia-sia bertahun tahun aku bekerja jika ia tidak menghargai mimpi dan usahaku. 


Perasaan sedihku ini menyebabkan kami tak lebih dari dua orang asing yang tinggal dalam satu atap rumah baru minimalis pinggir kota ini.  Jika ia datang dari desa di malam hari, aku akan pasang wajah merengut karena malas melihatnya yang memilih pekerjaan sederhana di desa yang sama sekali tak dapat mencukupi kebutuhanku. Malas melihat rautnya yang alim tapi lamban dalam merespon keinginan istri. dan Lalu aku akan tidur di kamar dan dia di ruang tamu. 


Pagi harinya ia akan membeli makanan di warung tetangga karena aku mulai malas memasak untuknya. Ia juga akan menyapu seisi rumah dan mencuci baju kami karena sungkan padaku duduk saja tanpa kerja. 

Ia akan diam menanggapi wajah merengutku, sembari membaca buku di pojok ruangan. Dan siangnya ia akan pulang lagi ke desa yang jaraknya setengah jam, dengan dalih mengajar. 


Begitu terus siklus hidup kami hingga puncaknya malam itu, sepulang dari kondangan kerumah teman bisnis MLM ku, mereka yang bahagia memiliki suami semangat bekerja, mampu mereguk pundi pundi rupiah berdua, menikmati liburan keluar provinsi. Dan datang ke pesta dengan wajah wajah sumringah dengan busana patut dan perhiasan yang indah.


"Mas, kalau saja kamu itu mau tinggal disini dan Kerja yang mentereng. Urusan kita selesai! Nggak bakalan ada masalah" celetukku sesampai di rumah. 

Ia menghela nafas panjang. 

"Pekerjaanku halal Ran, aku menikmati profesi itu bertahun-tahun. Jualan kelapa dan sayur mayur itu barokah. Menyehatkan pembeli" dalihnya. 


"Tapi Mas, Kebutuhan kita ini banyak. Jenengan sering kesusahan kasih uang belanja. Bayar SPP Azzam nunggak. Kondangan minjem uangku. Belum kalau ada hajatan keluarga. Apa Mas yakin bisa nyukupin semua itu?!" 


Ia memasang wajah gusarnya "Maafin aku Ran. Tapi setidaknya aku sudah berusaha to! Aku kerja, enggak nganggur. Kalau soal kadang kurang, kadang nunggak. Itu wajar bagi keluarga muda!" 


"Enak aja! Kita nggak muda Mas. Azzam sudah tujuh tahun. rekoso kok di pelihara!" 


Ia menyeka wajahnya dengan tangan lunglai. "Aku akan semangat bekerja dan berkreasi kalau kamu ada dirumah menemani ku Ran, Kalau kamu tidak dirumah kesemangatan itu memudar!" Ia beralasan lagi. 


"Bilang saja kalau kamu memang mental kere! Ada aku atau tidak dirumah sama saja to Mas!" Dengusku sebal Mengingat sepuluh bulan hidupku tinggal di desanya sebelum aku pergi ke Taiwan selama tiga tahun. Dan juga empat bulan hidupku di desanya sebelum kepergianku ke Taiwan yang kedua dan menitipkan Azzam ke pelukan neneknya. 


Begitu kentara perbedaan etos kerja kami berdua dan standar hidup yang kami harapkan. Ia tak jua menyadari hal itu hingga rutinitas mengajarnya di desa dianggap lebih penting dari membahagiakan istri. Sikapnya itu membuatku malas melayaninya selayaknya istri berminggu-minggu, karena kami tak juga menemukan titik temu untuk tinggal bersama. Ia masih tetap akan sering pulang ke desa, dan aku tetap akan dirumah ini tak Sudi bertandang kesana. Dan kata kata kasar ku sering kulontarkan demi menyadarkannya. "Hidup kere kok di pertahankan!" "Islam itu bangga pada muslim yang kaya mas. Bukan Melarat!" Atau "pemalas itu sebagian dari syetan Mas!" Sering aku lontarkan di hadapannya. 


Sementara Mas Huda hanya merapal istighfar tapi tidak kunjung merubah tabiatnya dari pikiran sederhana ke pemikiran fantastis yang lalu membuatnya punya gagasan cespleng dalam bisnis. Atau tiba tiba menjelma jadi suami berkelas mengajak istrinya ke mall dan rencana membeli tiket jalan-jalan. 


Tidak. Ia tetap sebagai Mas Huda yang dulu jauh sebelum aku tinggal ke Taiwan. Dan kata kata kasarku pun semakin menjadi aku lontarkan demi melampiaskan kekesalanku. Dan rupanya sikapku ini mulai terendus oleh keluarganya yang mulai ikut campur untuk menghakimi. 


Karena kecewa dengan sikap mertua dan adik ipar yang datang melerai tanpa memahami kekurangan Mas Huda, dan hanya fokus dengan kekuranganku, malam itu pun aku memaksa Mas Huda untuk pulang dulu ke desa. Aku sedang malas bersamanya. 


"Masih hujan Ran! Mas pulang besok yaaa!" Keluhnya. 


"Lelaki kok manja! Hujan ya diterjang lah! Itu yang bikin kamu nggak maju maju!"


"Apa hubungannya hujan sama kemajuan Ran? Kamu selalu mengaitkan apapun dengan pekerjaanku. Kamu kan tahu, bakul sayur itu kalau di tekuni bisa sukses. Bisa beli mobil. Bisa renovasi rumah! Kamu aja yang gak sabar!" 


"Tapi Mas. Nyatanya sampai sekarang Mas tetep aja begitu. Nyatanya belum bisa beli mobil kan? Salah sendiri sih nggak mau dengerin saranku!" 


"Karena kamu enggak mau menemaniku dalam susah payah agar mas berkembang! Karena aku bingung cari kesemangatan sementara kamu jauh tak dirumah!"


"Jadi sekarang semua ini salahku? Aku sudah kerja banting tulang ke negeri orang demi beli ini beli itu tetap disalahkan lagi? Haa? Sekarang! Pulang sana mas. Aku lagi capeeekk!" Pekikku sembari membuka pintu dan mendorongnya keluar rumah. 


"Ran,.. Aku nggak pernah minta kamu kerja keras belikan ini dan itu. Asal kamu mau ngerti perasaan suami. Menghargai aku, bersabar menemaniku. Itu sangat cukup buatku.."   Itu umpatan terakhir Mas Huda sebelum ahirnya pintu aku kunci dari dalam dan aku tenggelam di balik selimut dalam tangis. Membiarkan suara motor Mas Huda menderu diluar sana berlomba dengan hujan. 


***


Semenjak pengusiranku itu Mas Huda belum jua datang kerumah minimalisku hingga berminggu Minggu. Hingga suatu siang, tiba tiba dadaku nyeri bukan main dan putingku mengeluarkan beberapa cairan. 


Segera aku periksakan ke dokter yang ternyata hasilnya mencengangkan. 

Nyeri nyeri sakit yang kuabaikan bertahun tahun ternyata adalah kanker payudara stadium 3. 


Aku begitu shock dan menangis Berjam jam. Mendengar penuturan dokter kalau payudaraku harus diangkat dan berapa juta rupiah yang harus aku gelontorkan. Uang kerjaku bertahun tahun harus direlakan untuk itu. 


Aku sedang rawat inap sembari menelfon orang tuaku di Lampung. Mereka terdengar begitu berduka namun tidak bisa datang secepat kilat dan justeru menyuruh menantunya yang lama tidak pernah datang untuk menungguiku dulu. Meski mereka telah mendengar kemelut yang merundungku sebelumnya. 


"Biar ditunggui Huda dulu ya! Nanti lima harian bapak baru bisa ke Jawa!" Begitu kata orangtuaku. 


Dan lalu bayangan itu telah muncul di ambang pintu rumah sakit kelas satu. 

Mengenakan Koko putih dan peci hitam dan sarung sebagaimana biasanya. Masih setampan yang dulu, masih setegap yang dulu dengan wajah teduh dan supel pada penunggu Pasian lain yang di sekelilingku. 


***


Lima hari berlalu dengan baik, karena Mas Huda merawatku dengan telaten dan sigap, menyuapi makan tepat waktu, menggerus kan obat jika terlalu besar, memapahku ke kamar mandi, mencarikan makanan yang aku sukai jika tak selera dengan makanan RS, bahkan ia sering berkonsultasi pada dokter yang berkaitan dengan penyakitku dan menulis dalam kertas agar mudah mengingatnya, apa saja makanan yang harus dihindari juga tahapan tahapan kontrol setelah operasi. 


Bahkan juga memotivasiku sebelum operasi agar aku tidak ketakutan. 

Dan menuntunku solat hurmat waktu kala masih begitu lemas selepas operasi. 


Hingga penunggu Pasian tetangga ranjang menghampiriku  "Selamat ya Bu, operasinya sudah berhasil. Saya kagum sekali dengan suami Ibu, Lembut dan perhatian. Jadi teringat almarhum suami saya!" 


Lalu ia meneruskan cerita hidupnya bersama suami yang rekoso penuh perjuangan itu. Mulai menanam ketela berdua, mendeploknya berdua hingga menjajakan gethuk buatan mereka ke kota berdua sampai memiliki Toko Gethuk yang membanggakan. Cerita berujung dengan linangan air mata karena syukurnya memiliki suami baik hati. 


"Kami memang wong ndeso. Wong mboten gadhah. Tapi, adilnya Gusti Allah memberikan kebahagiaan dengan suami yang Solih dan sabar!" Tukas sang ibu. 


Aku segera terharu dengan ucapan itu. Dan melirik sosok Mas Huda di luar kamar yang sedang membuang sampah kamar dan menjemur beberapa pakaianku yang habis ia cuci. 


Segera menyadari ucapan sang ibu bisa jadi benar. Mas Huda tidak sehebat suami teman teman ku bergelimang harta. Tapi ia tidak pernah main mata dengan perempuan seperti suami Erna, main kasar seperti suami Yuni atau jarang solat seperti kebanyakan teman bisnis MLM ku. Ia bahkan disukai orang desa dan banyak diberikan tanggung jawab masjid termasuk mengajar puluhan anak anak. 


Hanya saja, ia kerasan di rumahnya sendiri yang bagiku serasa seperti penjara. 


Mungkin saja rekoso dan perjuangan yang membuat sang ibu penunggu Pasian terharu justeru adalah monster bagiku selama ini, yang selalu aku coba melarikan diri darinya. Hingga tidak faham seperti apa rasanya bahagia nereguk kesuksesan setelah melewati perjuangan. 


Bersamaan dengan mataku berkaca kaca itu lah orang tuaku muncul di ambang pintu dan spontan memelukku haru. Akhirnya hari kelima mereka datang dari Lampung. 


Namun ada yang lain dari cara Mas Huda salaman pada mereka hari ini. Diiringi permintaan maaf bertubi tubi dan nafas tersengal.  


Di ujung suasana haru itu, Mas Huda menghampiriku dan mengatakan sesuatu dengan nafas beratnya. 


"Ibu dan bapakmu sudah datang Rani! mohon maaf banyak kesalahan selama ini. Ku kembalikan kau pada orang tuamu!" 


Aku mengerjap ngerjap tak sepenuhnya faham dengan ucapannya. 


Lalu ibu segera memelukku dan berbisik  "ia sudah mentalak mu sejak kau usir malam itu Rani... Ibu tidak mampu lagi memintanya untuk rujuk!" 


Palu Godam menghantam dadaku bersamaan dengan langkah suamiku yang makin menjauh. Sosoknya yang masih setampan dulu. Masih segagah dulu, masih sesabar dulu menghilang di balik jendela. 



Menyisakan derai air mata yang menganak sungai. Mengenang kebersamaan dengannya yang penuh warna.



Sendok bekasnya menyuapiku  masih bertengger di meja tepi ranjang, berdampingan dengan kertas kertas berisi tulisan tangannya tentang keterangan dokter. 


Tanganku yang lunglai tak terasa menyenggol gelas yang bertengger di sisi ranjang. Pecah, hancur berserakan serupa hatiku. 


End.


(Cerita ini adalah salah satu cerita dalam Kumpulan Cerpen Lipstick By Najhaty Sharma, dan memiliki kisah lanjutan dengan judul Gelas Pecah 2, cerita dengan perspektif yang berbeda berlandaskan fikih Mubaadalah)