Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tajrid dan Kasab


  


Al-Hikam Pasal 2

“TAJRID dan KASAB”

Penulis: Nyai Farida Fatih, Kabupaten Semarang 


إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.

وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ


Keinginanmu untuk menempati maqom Tajrid, sementara Allah masih menempatkan engkau di dalam Maqom Asbab, adalah  syahwat yang tersamar (halus). 

Dan keinginanmu kepada  maqom Asbab pada saat Allah sudah menempatkan engkau dalam Tajrid, merupakan suatu kemerosotan dari himmah  (keinginan mulia) yang tinggi.

Syarah:

Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah: TAJRID, ASBAB , SYAHWAT  dan HIMMAH .


TAJRID  secara bahasa memiliki arti:  pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah pelepasan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.

ASBAB  secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab- akibat. Semisal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia harus disibukkan bekerja, dan lain sebagainya. 

Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti : tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan, namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang luhur atau tinggi, keinginan menuju Allah.

Ada kalanya Allah menempatkan  keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan beruzlah, mengasingkan diri, maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kemerosotan dari keinginan (himmah) yang tinggi.

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.

Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Allah, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah (menghamba) kepada Allah, sesuai tuntunan Al-Qur’an.

Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepotkan atau mengganggu dalam ibadah yaitu pekerjaan (kasab), lalu berkeinginan lepas dari kasab atau usaha dan hanya ingin melulu beribadah. Maka Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi atau samar.

Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Allah yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.

Dan tanda-tanda bahwa Allah menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], adalah apabila kasab atau berusaha itu terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkanmu lalai dalam menjalankan suatu kewajiban agamamu dan juga menyebabkan engkau terhindar dari tamak [mengharapkan] terhadap milik orang lain.

Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang TAJRID adalah Apabila Tuhan memudahkan bagimu dalm hal kebutuhan hidup dari jalan yang tidak disangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajibanmu.

Syeikh Ibnu ‘Atoillah berkata : “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursyi, Aku  merasa bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan menyibukkan diri pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) itu agak jauh dan tidak mungkin berhasil. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita : Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata : Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab : Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.

Bidang Dakwah: Kajian Kitab JP3M