Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai-Nilai Fundamental Pendidikan Pesantren


Oleh: Hafidah (Sekretaris Bid. Pendidikan)

Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama terus menyelenggarakan misinya untuk menjadikan umat Tafaqquh fi al-Din. Hal ini terus dipertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga ratusan tahun di nusantara ini. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, tentu hal itu wajar sepanjang menyangkut teknis operasional penyelenggaraan pendidikan saja menyesuaikan perkembangan zaman dan iptek.

Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya dengan karakter yang kuat. Sebagai lembaga pendidikan yang indegenous, menurut Azra (1998: 87) pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakat dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan. Hal ini terjadi karena pesantren memiliki nilai-nilai fundamental dalam proses pendidikannya yang dapat membentuk pribadi-pribadi yang unggul dan tangguh dengan segala perubahan yang menyertainya.

1. Komitmen untuk Tafaqquh fi al-din.

Tujuan utama pendidikan pesantren adalah melahirkan insan-insan muslim yang tafaqquh fi al din, mendalami ajaran Allah dan mengamalkan ajaran tersebut dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Din mengatur segala aspek kehidupan manusia yang meliputi hubungan manusia dengan Allah, hubungan sesama manusia dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Oleh karena itu, komitmen tersebut dibangun dalam model pendidikan yang tetap menonjolkan aspek ketuhanan dan kemanusiaan yang menunjukkan keluhurannya dan menguatkan penetapannya sebagai insan fi ahsani taqwim.

2. Pendidikan sepanjang waktu

Sistem pendidikan di pesantren itu sepanjang waktu, 24 jam setiap hari kyai, nyai, dan guru-guru senantiasa membimbing, mengajar, dan mendidik santri-santrinya baik dengan keteladanan dalam cara hidup (bersahaja, tawakkal, ikhlas, syukur, dermawan, dan sebagainya), keteladanan dalam disiplin beribadah, maupun dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya dengan semangat pengabdian kepada Allah, Yang Maha Pencipta. Dengan sistem pendidikan sepanjang waktu, maka tiada waktu yang terlewatkan sia-sia sehingga tidak mengalami kerugian hidup sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an, surat al-‘Ashr. Dan di sisi lain, santri terdidik untuk disiplin serta pintar mengelola waktu.

3. Pendidikan integratif

Pendidikan pondok pesantren merupakan konsep pendidikan yang mengkolaborasikan antara pendidikan formal, non formal dan informal. Dalam hal ini, kyai sekaligus berperan sebagai pendidik/ guru, orang tua, pembina, pembimbing, dan pemimpin kegiatan-kegiatan santri. Dengan sistem pondok (asrama), kebersamaan antara kyai, guru dan santri berlangsung terus-menerus dan lebih intens, karena tidak dibatasi oleh jam-jam belajar di kelas saja. Kondisi ini sangat baik bagi proses pembentukan kepribadian santri, karena yang terjadi tidak hanya transfer of knowledge saja tetapi juga transfer of values. Dengan demikian akan semakin besar peluang dalam mencapai tujuan akhir pendidikan, yaitu mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan sebagai wujud penghambaan kepada Sang Khaliq.

4. Pendidikan seutuhnya

Satu hal yang sudah mafhum bahwa dalam dunia pesantren, di samping diajarkan ilmu pengetahuan teoritis juga mempraktikkan secara kontekstual. Pendidikan di pesantren tidak hanya berorientasi hasil tetapi juga berorientasi proses, yaitu dengan mengembangkan seluruh potensi yang ada pada santri (: manusia) meliputi afektif (sikap, hati, emosi), kognitif (intelektualitas), dan psikomotorik. Sehingga mengarah pada terbentuknya insan kamil yang merupaka perwujudan manusia seutuhnya; taqwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan kuat kepribadiannya (memiliki etos kerja, kejujuran, tanggungjawab, profesional, kesopanan, kepekaan sosial).

5. Adanya kebebasan, keragaman, kemandirian dan tanggungjawab

Pesantren lahir dari dan untuk masyarakat, sehingga bebas menentukan model dan kurikulum pendidikannya. Ini menjadi nilai plus tersendiri dalam khazanah pendidikan Islam, karena setiap pesantren memiliki kekhasannya masing-masing. 

Di sisi lain, sebagai konsekuensi lahir dari masyarakat maka pesantren memiliki tingkat kemandirian yang sangat kuat, tidak bergantung pihak-pihak lain. Sikap kemandirian dalam pengelolaan pendidikan ini pada gilirannya akan melahirkan santri-santri yang memiliki sikap keswadayaan, penuh kemandirian, dan percaya diri, dan belajar mengambil keputusan sendiri serta bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.

6. Pesantren adalah masyarakat kecil

Santri yang menuntut ilmu di pesantren berasal dari beragam komunitas, etnis, strata sosial namun mereka hidup bersama dalam pengasuhan kyai dan guru dengan selalu menjaga sikap saling menghormati dan menghargai. Komunitas santri sebenarnya merupakan masyarakat Islam yang terdiri dari kelompok-kelompok anak didik yang saling terikat oleh tradisi dan sistem, serta hukum-hukum yang khas pondok pesantren, di mana santri hidup bersama di wilayah tertentu dan memiliki kepentingan bersama.

Inilah nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren yang kemudian membentuk pola pendidikan yang dijadikan salah satu model penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.

Tulisan singkat ini merupakan catatan refleksi yang penulis peroleh ketika “nyantri” di Perguruan Islam Pondok (PIP) Tremas Pacitan di era tahun 1985-1988. Walaupun sudah demikian lama, namun menurut penulis nilai-nilai tersebut universal sehingga masih relevan untuk konteks hari ini. Wallahu a’lam bissawab.


Semoga manfaat.