Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gender dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam

Zeni lutfiyah

(Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan)


PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempuan, hal ini dapat terlihat dari sejumlah hadis Nabi saw yang memuliakan kaum perempuan di antaranya,

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' bin Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata;" Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya? "Beliau menjawab:" Ibumu. "Dia bertanya lagi;" kemudian siapa? "Beliau menjawab:" Ibumu . "Dia bertanya lagi;" kemudian siapa lagi? "Beliau menjawab:" Ibumu. "Dia bertanya lagi;" Kemudian siapa? "Dia menjawab:" Kemudian ayahmu."

Dari hadis ini dapat diketahui bahwa Rasulullah sangat memuliakan seorang perempuan. Hal ini Jelas terlihat ketika beliau memberikan posisi yang lebih bagi seorang perempuan, yang mana pada masa wanita sangat di rendahkan bahkan  berada jauh di bawah kata “ layak ,” karena wanita hanya dijadikan permainan bagi kaum laki-laki, disiksa, ditindas dan diatur. Di masa itu derajat wanita sangatlah rendah, jatuh dalam kegelapan lalu Islam datang membawa cahaya keadilan  dalam  kehidupan seorang wanita bagai cahaya matahari yang terang benderang. Islam memberikan hak hak yang layak kepada perempuan. 

source: hillnotes.ca


PEMBAHASAN

1. Kedudukan Perempuan pada Masa Pra Islam 

Dahulu Adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, selain mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan yang dilahirkan, yaitu mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya. Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai istri. Kadangkala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya. Praktek ini mereka namakan nikah as syighr. Ada juga yang saling bertukar istri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal. Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al istibdha’, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh istrinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang istri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu. 

Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. Ada juga jenis pernikahan yang disebut dengan nikah al-mukhadanah, yaitu pernikahan seorang wanita yang mempunyai banyak suami (poliandri). Hal seperti ini banyak terjadi antar saudara di kalangan bangsa Arab. Bahkan beribu tahun sebelum Islam diwahyukan, di berbagai belahan dunia kaum perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, tidak berhak berkarya, dan tidak berhak memiliki harta. Bahkan, eksistensinya sebagai makhluk manusia pun dipertanyakan. 

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa kaum perempuan pada masa pra-Islam atau yang lebih dikenal dengan zaman Jahiliyyah terlihat jelas praktik-praktik kehidupan yang ada belum menunjukkan kesetaraan gender. Hal ini disebabkan kaum laki-laki Arab jahiliyyah tidak memahami hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan. Perempuan dianggap hina di sebabkan  berbagai kelemahan-kelemahannya. Padahal kelemahan perempuan itu bukan karena memang tidak mampu tetapi karena keterbatasan para perempuan yang tidak diberi ruang gerak untuk mengaktualisasikan diri.

2. Kesetaraan Gender dalam Islam

Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan memiliki peringkat yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini telah diisyaratkan Allah dalam QS. al Nisa(4;1) yang artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 1) 

Menurut Riffat Hasan, dari 30 ayat tentang penciptaan, ada 3 istilah yang digunakan untuk kemanusiaan (al-nas, basyar, dan al-insan). Dari ketiga istilah tersebut, tidak satu pun yang merujuk pada diri laki-laki (male person). Jadi, di sini tidak memiliki alasan yang tepat untuk menafsirkan bahwa ciptaan pertama adalah Adam sebagai manusia laki-laki, tetapi lebih tepat adalah diri manusia. 

3. Diskursus tentang Gender

Pengertian Gender secara umum adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam konteks tersebut, gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan dikenal lembut dan cantik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya. Hal ini berarti bahwa gender lebih menekankan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang dalam budaya tertentu. 

Dengan demikian, perbedaan gender pada dasarnya merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dilegitimasi secara sosial dan budaya. Pada gilirannya, perbedaan gender dianggap kodrati hingga melahirkan ketidakseimbangan perlakuan jenis kelamin. antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang Panjang serta berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.

Dalam perkembangannya, menurut Mansour Fakih perbedaan gender akan melahirkan manifestasi ketidakadilan antara lain: terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (doble burden), pada umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dengan adanya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuanlah yang bertugas dan memelihara kerapian rumah, serta tanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.

4. Gender dalam perspektif Islam

Pengertian Gender dalam al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi atau hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, namun lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang (QS. al-Syura ayat 11), dan tumbuh-tumbuhan (QS. Thaha ayat 53). Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan. Langit diumpamakan dengan suami yang menyimpan air (QS. al-Thariq ayat 11) dan bumi diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan (QS. al-Thariq: 12). Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa (QS. al-Ikhlas: 14). 

Secara umum tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu Terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga ( QS. al-Rum: 21), sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (baldatunThayyibatun wa rabbun ghafûr) (QS. Saba: 15). 


KESIMPULAN

Gender adalah peran, sifat, maupun tingakah laku yang dilekatkan pada laki-laki atau perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Pada zaman pra Islam dalam budaya masyarakat Arab Jahiliyyah, perempuan mendapat perlakuan yang tidak baik, dianggap sebagai sosok yang tidak berdaya, tidak dihargai, tidak setara dengan laki-laki, ditindas dan dianggap tidak berguna bahkan aib keluarga. Tidak menunjukkan adanya kesetaraan gender. Setelah Islam datang, kedudukan perempuan diangkat, dihargai, dilindungi, dan disetarakan dengan kaum laki-laki. 


Daftar Bacaan

Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 72-75.

Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al kitab Al 'arabi, 1980). h. 297-298

Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Haya’ al-Turats al-Arabi, 1990), Jilid XV, h. 402.